Jumat, 11 November 2022

Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di DKI Jakarta. Bagaimana Upayanya?

Jika ada orang yang bertanya pada saya, apa yang kamu pikirkan ketika mendengar kata “DKI Jakarta”? Maka wajah pertama yang bisa saya deskripsikan dari kota tersebut adalah, 

  1. Jakarta adalah kota padat penduduk 
  2. Jakarta penuh dengan polusi udara 
  3. Jakarta memiliki banyak gedung tinggi dan pembangunan yang pesat
  4. Langit Jakarta sering berwarna abu-abu 
  5. Jakarta sering macet karena padat kendaraan bermotor 

***  

Rabu, 22 Juni 2022 lalu merupakan 4 kalinya saya berkesempatan menjejak ke Kota Jakarta. Sebagai orang luar, saya selalu kagum dengan pembangunan pesat di kota tersebut mulai dari gedung bertingkat hingga infrastruktur penunjang transportasi masyarakat. 

Meski demikian, pada  waktu yang sama, saya sangat jengah dengan kemacetan dan pemandangan langit Jakarta yang selalu suram, bukan karena mendung, tapi karena polusi yang disebabkan oleh berbagai sektor.

Kepala Pusat Kebijakan Keenergian ITB, Retno Gumilang Dewi mengatakan bahwa ada 5 sektor yang berpotensi membuat DKI Jakarta memiliki tingkat polusi udara yang tinggi. Yang pertama adalah transportasi sebesar 46%, kedua, pembangkit listrik 31%, ketiga, industri manufaktur sebesar 8%, keempat, rumah tangga 6% dan kelima adalah TPA sebesar 5%. 

Dari data di atas, terlihat bahwa sektor transportasi menjadi kontributor paling dominan yang menyebabkan polusi udara di Jakarta. Mengapa bisa demikian? Ya, itu terjadi karena pengguna kendaraan bermotor setiap tahunnya mengalami peningkatan. 

Hal ini terbukti berdasarkan paparan Bapak Panji mewakili Ditlantas Polda Metro Jaya dalam dialog publik KBR bersama YLKI bertajuk “Pengendalian Penggunaan BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta” pada 8 November 2022 lalu.  

Dalam dialog tersebut, Bapak Panji memaparkan bahwa ada 12.965.589 total unit kendaraan per Oktober 2022 di DKI Jakarta yang tersebar di 5 wilayah. Dari total unit kendaraan yang ada, angka terbesar didominasi oleh kendaraan pribadi.

Semakin bertambahnya angka kendaraan, maka semakin meningkat pula kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai sumber energi bagi kendaraan.  

Mungkin belum banyak orang paham perbedaan BBM bersubsidi dan non subsidi. Berikut saya cuplik uraiannya melalui infografis dari Indonesiabaik.id di bawah ini,

Perlu diketahui bahwa BBM di Indonesia masih mendapatkan subsidi dari pemerintah sebesar Rp 502,4 triliun (tahun 2022) dari APBN. Permasalahannya, BBM bersubsidi saat ini lebih banyak digunakan oleh kelompok rumah tangga mampu. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Kementerian Keuangan. 

Dengan kata lain, BBM bersubsidi menjadi salah sasaran, yang seharusnya dialokasikan untuk masyarakat menengah ke bawah tapi justru dinikmati oleh masyarakat yang mampu secara finansial.  

Waduh, apa buktinya kalau BBM bersubsidi malah mengalir ke masyarakat mampu? 

Kita tak bisa menafikan bahwa rata-rata pemilik kendaraan roda empat masuk sebagai golongan orang yang mampu secara finansial. Itu bisa terlihat dari harga mobil sendiri yang berada pada rentang Rp 100 jutaan hingga milyaran rupiah. 

Dalam dialog publik KBR, Bapak Komaidi Notonegoro selaku Direktur Eksekutif Reforminer Institute mengungkapkan pertalite sebagai BBM dengan harga termurah masih dinikmati oleh kendaraan roda empat yang mencapai 70 persen dengan transaksi rata-rata sebesar 23-33 liter.

Melihat uraian tersebut maka jelas bahwa BBM bersubsidi masih belum tepat sasaran karena lebih banyak dinikmati oleh kalangan mampu. Padahal, untuk subsidi sendiri, pemerintah tidak mengeluarkan dana sedikit yakni ratusan triliun. 

Bapak Tri Yuswidjajanto selaku akademisi dari ITB mengatakan bahwa anggaran subsidi BBM saat ini apabila diakumulasi, bisa dimanfaatkan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum seperti di bawah ini.

  • Jalan tol : 6300 km 
  • Jalan provinsi : 142.500 km 
  • Sekolah : 41.000 
  • Rumah sakit : 1200  
  • BLT BBM : 32 juta KK selama 10 tahun 
  • PLTU 100 MW : 285 unit 

Itu artinya, subsidi BBM nilainya sangat besar sehingga mengurangi porsi anggaran di APBN yang seharusnya bisa diarahkan untuk pembangunan berbagai fasilitas publik. Bayangkan, seandainya anggaran subsidi BBM bisa ditekan, maka dana bisa diarahkan untuk pendirian sekolah, rumah sakit, jalan dan fasilitas lainnya di dalam negeri.

Mirisnya, nilai anggaran subsidi BBM yang besar itu lebih banyak dimanfaatkan oleh kendaraan pribadi roda 4 yang notabene dimiliki kelompok berada bukan akar rumput sehingga tidak tepat sasaran. Bila kondisi ini terus terjadi, maka anggaran negara akan terkuras dan mubazir. 

BBM Bersubsidi dan Peningkatan Polusi Udara di DKI Jakarta 

Setiap kali menjejak ke Jakarta, saya selalu membayangkan bisa menikmati landskap ibukota bernaung dalam birunya langit melalui jendela. Namun kenyataannya berbeda, langit abu nan suram selalu menjadi pemandangan yang tak pernah saya inginkan.

Potret Jakarta yang terlihat suram saat menjejak ke-2 kalinya (Dokumentasi Pribadi)

Pemandangan suram tersebut tentu memiliki sebab. BMKG mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi partikel debu halus (PM 2.5) di Kota Jakarta. Konsentrasi PM 2.5 di Ibu Kota mencapai level tertinggi pada angka 148 mikrogram per kubik. Angka tersebut mengindikasikan bahwa udara di Jakarta berpolusi.

Potret lain Jakarta dalam balutan kabut polusi
saat saya menjejak ke-3 kalinya disana (Dokumentasi Pribadi)

Meningkatnya konsentrasi polutan PM 2.5 di udara, secara kasat mata membuat Jakarta terlihat suram layaknya sedang mendung. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan aktivitas manusia yang berhubungan dengan penggunaan BBM.

Potret jalanan Jakarta dilihat dari Kereta Api.
Lebih banyak kendaraan pribadi (Dokumentasi Pribadi)

Seperti yang saya paparkan di awal, transportasi masih menyumbang polusi terbesar bagi DKI Jakarta yakni sebesar 46 persen. Dengan jumlah kendaraan pribadi yang semakin menggila, ditambah penggunaan BBM bersubsidi yang notabene memiliki nilai oktan rendah, membuat emisi gas buang menjadi tinggi. 

Kita tahu, pembakaran BBM dari kendaraan akan menghasilkan gas buang yang mengandung berbagai zat kimia, seperti karbon dioksida, nitrogen oksida, hingga sulfur oksida. Zat-zat itulah yang menyebabkan polusi udara dan bermuara pada aspek yang lebih besar yakni perubahan iklim.

Tahukah kamu bahwa perubahan iklim memiliki dampak mengerikan bagi kehidupan. Perubahan iklim menyebabkan,

  1. Pencairan es di kutup utara dan selatan
  2. Munculnya bencana-bencana seperti banjir, badai siklon, badai tropis, kekeringan, longsor, rob, kebakaran hutan dan sebagainya.
  3. Kepunahan flora dan fauna
  4. Meluasnya gurun pasir
  5. Munculnya penyakit-penyakit berbahaya seperti ISPA, Kanker, gangguan mata.
  6. Masyarakat kehilangan tempat tinggal

Dalam dialog publik KBR, Bapak Tulus Abadi selaku Ketua Pengurus Harian YLKI mengungkapkan bahwa 70 persen polusi di DKI Jakarta bermula dari kendaraan pribadi. Dalam konteks ekologis, pengendalian BBM bersubsidi mampu menekan laju emisi yang disebabkan penggunaan kendaraan pribadi yang masih menggunakan pertalite.

Hingga saat ini, penggunaan kendaraan pribadi di DKI Jakarta masih didominasi oleh sepeda motor dengan jumlah 9.076.757 unit (berdasar data Ditlantas Polda Metro Jaya). 

Perlu dipahami bahwa 86 persen penguna sepeda motor dan mobil masih menggunakan pertalite sebagai bahan bakar. Padahal, pertalite termasuk bahan bakar yang masih disubsidi oleh pemerintah.

Semakin besar penggunaan pertalite oleh kendaraan pribadi, maka akan semakin besar pula emisi yang dilepaskan ke udara. Sebab, pertalite termasuk bahan bakar yang mengandung sulfur di atas 50 ppm. 

Nah, jika sudah begini, apakah subsidi BBM masih perlu dipertahankan? 

Pertama kali mendengar bahwa BBM akan mengalami kenaikan harga, saya merasa cukup kaget. Benar bahwa bagi masyarakat kecil, kenaikan BBM ibarat mengunyah pil pahit tanpa air minum. Rasanya tak enak. Terlebih, itu berimbas pada kenaikan harga bahan pangan hingga transportasi umum seperti angkot, bus hingga ojek online.

Namun demikian, saya juga sadar bahwa keputusan pemerintah menaikkan harga BBM berkaca pada anggaran subsidi yang kian membengkak namun masih salah sasaran. Artinya, itu tidak dinikmati oleh masyarakat menengah kebawah tetapi justru dinikmati masyarakat mampu. Disini, terjadi ketidakadilan ekonomi.

Menurut opini pribadi saya, subsidi BBM boleh saja dihapuskan. Asal, ada solusi pengganti yang mampu meringankan beban masyarakat miskin secara jangka panjang. Misalnya, anggaran subsidi BBM dialokasikan untuk pembangunan fasilitas umum hingga bantuan sosial tepat sasaran. Thats it!

Bagaimana upaya mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi? 

Melihat berbagai dampak buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan BBM bersubsidi, mengharuskan banyak pihak mencari jalan tengah yang bisa menjembatani masyarakat dan para pemangku kepentingan.

Terangkum beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta maupun pihak stock holder, berdasarkan paparan tiap narasumber pada dialog publik KBR bersama YLKI,

  1. Shifting penggunaan pertalite pada kendaraan pribadi dengan Pertamax 
  2. Mengarahkan masyarakat agar memilih kendaraan publik dengan menyediakan dan memperbaiki berbagai fasilitas pendukungnya.
  3. Menerapkan Account Basse Ticketing sehingga pembayaran BBM disesuaikan dengan kondisi finansial masyarakat.
  4. Melarang penggunaan mobil yang tak memenuhi standar baku emisi
  5. Menerapkan denda bagi masyarakat yang melanggar ketentuan pemakai BBM bersubsidi
  6. Melarang produsen menjual kendaraan yang belum menerapkan regulasi euro-3 dan 4
  7. Penerapan biaya parkir progresif bagi kendaraan tidak lolos uji emisi

Bagi masyarakat, kesadaran membeli BBM sesuai kemampuan finansial merupakan upaya yang harus diterapkan. Terlebih, itu berhubungan dengan masa depan bumi dan generasi mendatang. 

Semakin besar kesadaran kita dalam memilih bahan bakar ramah lingkungan dan sesuai kemampuan finansial, semakin besar pula kesempatan bagi negeri ini untuk maju, karena pengalokasian anggaran negara menjadi tepat sasaran.

Kesimpulan


DKI Jakarta memang memiliki problematika pelik terkait pengendalian BBM bersubsidi dan polusi udara. Terlebih, kota ini semakin dipadati penduduk dan kendaraan bermotor. Dalam memecahkan masalah terebut, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak baik pemerintah daerah, pemerintah pusat, stock holder hingga masyarakat yang menjadi pemain utama di dalamnya.

Melalui komitmen yang kuat dalam pembangunan transportasi publik yang optimal, shifting energi ke bahan bakar ramah lingkungan, penerapan teknologi Account Basse Ticketing hingga memberlakukan kendaraan lolos uji emisi diharapkan mampu menjadi upaya pemecahan masalah polusi udara dan penggunaan BBM bersubsidi.

Semua bisa dimulai dari DKI Jakarta, kota metropolitan yang menjadi barometer pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Semoga upaya pengendalian BBM bersubsidi dan pengurangan polusi itu bisa dilaksanakan secara kolaboratif sehingga deskripsi Jakarta bisa berubah menjadi kota ramah lingkungan. Salam hangat.

Referensi : 
  • Talkshow Ruang Publik KBR bersama YLKI berjudul Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta.
  • https://kumparan.com/kumparannews/ini-5-kontributor-utama-penghasil-emisi-gas-rumah-kaca-di-jakarta-1zAbZdV4Ibx/1
  • https://ylki.or.id/2017/11/masa-depan-bahan-bakar-ramah-lingkungan/
  • https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Anggaran-Subsidi-dan-Kompensasi-Rp502,4-triliun
  • https://betahita.id/news/detail/5639/premium-pertalite-sumber-pencemaran-udara-klhk-dilarang-saja.html.html
  • https://indonesiabaik.id/infografis/beda-bbm-subsidi-dan-non-subsidi
  • https://otomotif.tempo.co/read/1500835/urutan-nilai-oktan-pada-setiap-jenis-bahan-bakar-di-spbu-pertamina
  • https://www.republika.id/posts/29177/bmkg-empat-penyebab-kualitas-udara-jakarta-buruk%C2%A0

36 komentar:

  1. Polusi udara di Jakarta ini memang parah sih. Anakku sampe opnam bbrp bulan lalu Krn kena bronkitis atau radang paru. Pas aku tanya dokter penyebabnya apa, banyak, salah satunya udara. Jadi sepertinya kalopun COVID nanti mereda, rasanya aku ga bisa lepas masker mba, melihat debu dan partikel halus di Jakarta itu parah bangettt.

    Sedihnya aku termasuk yg masih jrg pakai kendaraan umum, dan LBH sering mobil pribadi. Bukannya ga mau, tapi memang masih blm nyaman kalo kubilang. Itu kenapa aku LBH suka naik mobil sendiri. Tapi setidaknya aku ga mau pake bensin bersubsidi, maluuu 😅😄. Dan lagi sayang mesin mobilku juga 😅. Biar gimana bensin beroktan tinggi ya lebih bagus utk jaga mesin mobil ttp awet.

    Pelan2 sih, semoga bisa pindah pakai kendaraan umum, kalo nanti haltenya udh nyaman, kendaraan nya banyak dan waktu tempuh lebih cepat, aku pasti mau naik kendaraan umum. Untuk skr, setidaknya aku konsisten dulu utk pakai BBM yg bukan subsidi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu Mbak, kalau kemaren melalui KBR dikatakan kalau BBM Bersubsidi itu tidak baik untuk mesin motor atau mobil keluaran terbaru. Ntar malah jadi rusak

      Hapus
  2. Makanya transportasi umum ya harus ditingkatkan kenyamanannya, kemudahannya, kebersihannya, tdk desak2an shg warga mau beralih ke transportasi masal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, bener banget mbak. Itu jadi PR besar pemerintah DKI Jakarta dan Kementrian Perhubungan sih. Aku kalau lihat di IG juga desak-desakan gitu naik TransJakarta

      Hapus
  3. wah luar biasa ya, ternyata penyumbang polusi udara di Jakarta 70%nya berasal dari asap kendaraan. Walaupun membutuhkan waktu dan proses mudah2an pemerintah segera menemukan solusi tepat untuk mengatasi masalah transportasi di ibukota agar lebih tertib dan terkendali

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyap, bener banget mbak. Apalagi sekarang kalau tak lihat traansportasi publik sering banget dipakai sama pekerja di Jakarta

      Hapus
  4. Bener banget, BBM bersubsidi harus tepat sasaran karena bisa mengatasi penggunaan berlebih yang bisa menyebabkan polusi udara. Ada baiknya masyarakat menggunakan kendaraan umum biar lebih hemat dan juga menjaga ekosistem

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas. Dan kendaraan umum juga perlu dibenahi sih agar semuanya bisa nyaman. Tapi utk saat ini menggunakan BBM secara bijak lebih utama

      Hapus
  5. Di kampung kami mau mobil bagus apalagi angkot, semua antri ke BBM bersubsidi. Makanya selalu antri dan panjang. Sekelas pekerja kecamatan atau desa saja yg punya uang transportasi, itu pakai BBM bersubsidi lho. Kesadaran mereka mungkin harus direvolusi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya mbak. Padahal semakin sering pakai BBM bersubsidi semakin buruk utk mesin kendaraan.

      Hapus
  6. Kayaknya kalau ngomongin subsidi, bantuan langsung, dll, itu ribet banget pengendaliannya, ya. Saya heran kok bisa susah gitu.

    BalasHapus
  7. Harusnya yang punya mobil pribadi bisa tahu BBM mana yang digunakan
    Masa iya, bisa beli mobil nggak bisa beli BBM nya
    Pengendalian BBM bersubsidi g hanya menguntungkan secara ekonomi tapi juga berdampak pada kelestarian lingkungan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu mbak. Harusnya sih gitu. Tapi pada kenyataannya, masyarakat kita lebih memilih BBM bersubsidi karena dianggap lbh murah. Tapi pada sisi lain gak kasihan sama kendaraannya

      Hapus
  8. Padahal udah jelas ya BBM bersubsidi itu buat siapa, tapi masih juga ada yang bukan seharusnya malah dia yang menikmati. Di sinilah perlunya rasa kesadaran dan keadilan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak. Kalau mau dibuat aturan pun kudu ada penegasan sih

      Hapus
  9. Kalau sudah menyenggol polusi udara, memang terasa sekali sih, setiap kali ke Jakarta, dari Commuter Line, kelihatan langit yang selalu abu-abu dan udaranya terasa panas lengket.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beberapa kali ke Jakarta, aku juga merasakan itu mbak. Sesak rasanya

      Hapus
  10. Perubahan itu memng gak mudah ya..
    Di Bandung sendiri sudah ada pembatasan BBM subsidi, sehingga mungkin karena inilah jadi sulit sekali mendapatkan Pertalite. Jadi mau gak mau pilihannya Pertamax.
    Tetap terasa berat sih, kalau gak mikirin jangka panjang bahwa menggunakan BBM yang non-subsidi banyak keuntungannya, setidaknya bisa memperpanjang mesin agar lebih awet karena minim residu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba betul banget. Katanya kalau kendaraan pakai BBM yang gak sesuai bakal cepet aus

      Hapus
  11. Ak seminggu neng jakarta, pengap banget rasanya. Belum cocok sama kemacetan n udara disana sih rul

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyo mas. Aku delok nang akun IG info Jakarta yo macet e minta ampun.

      Hapus
  12. Semenjak pelonggaran PPKM nih Mba, Jakarta kembali macet jadi polusi pun kembali meningkat. Ditambah subsidi BBM yang ternyata gak tepat sasaran karena masih banyak digunakan oleh keluarga mampu. Padahal anggarannya kan bisa buat fasilitas publik. Berharap si pengawasan BBM bersubsidi semain ketat dan tepat sasaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, pas aku lihat aja di medsos Jakarta makin macet karena lebih banyak pengguna kendaraan pribadi

      Hapus
  13. Kalau berbicara BBM bersubsidi sebenarnya agak sensitif apalagi di kota-kota besar. Apalagi kenaikan harga BBM saat ini terbilang cukup tinggi, alhasil yang kaya pun ngaku miskin sehingga berhak dapat BBM bersubsidi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, bener banget. Sering dijumpai sih kasus-kasus kayak gitu

      Hapus
  14. Kalo diliat dari jepretan foto mbak MutMut hehe,, itu Jakarta keliatan polusinya sudah termasuk kategori tak sehat banget.

    Mungkin memang perlu juga digalakkan naik transportasi umum untuk menekan penyalahgunaan BBM bersubsidi agar lebih tepat sasaran. Dan tentu ini butuh ketegasan lembaga instansi terkait agar bisa berjalan sebagaimana mestinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyo mas. Dan yang terpenting, pemerintah DKI Jakarta juga perlu banget membuat transportasi masal lebih ramah dan menyenangkan

      Hapus
  15. Di zaman sekarang, orang berlomba-lomba punya kendaraan pribadi, orang yang naik kendaraan umum sudah tidak serame dulu. ah, andaikan orang-orang sadar, semakin banyak kendaraan tidak hanya macet saja, tapi juga menyebabkan polusi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, bener banget Mbak. Terlalu padat kendaraan bikin berabe semuanya

      Hapus
  16. Aku sendiri gak pake bbm subsidi, karena ga bagus untuk motorku. Aku pake yang sesuai aja untuk mesin motor meskipun harganya gak disubsidi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak. Katanya kalau motor atau mobil terbaru pakai BBM beroktan rendah, bakal cepet rusak mesinnya

      Hapus
  17. Tiap naik pesawat pas mau naik maupun mau turun di Jakarta, selalu menarik napas jangan. Kota Jakarta itu bagai tertutup selimut kabut yang amat tebal. Beda banget kalo pas berada di kota lain yang lebih hijau. Tapi ya tetap sih, kabut asap itu sudah ada di mana-mana. Makanya, penting ya mengurangi polusi. Mungkin ini juga tujuan pengendalian bbm bersubsidi.

    BalasHapus
  18. karena sekarang, punya kendaraan tuh makin mudah caranya, dan makin 'murah'. Jadi kadang kita hanya sekedar peduli dengan keinginan kita sendiri tanpa memperdulikan dampaknya untuk lingkungan, padahal kita jg nantinya yang merasakan ya

    BalasHapus
  19. kalau di daerahku, transportasi umum gak semudah jakarta. jadi memang lebih fleksibel punya kendaraan sendiri. dan terlihat juga sih kalau di jakarta pengguna transportasi umum, walau terbilang masih lebih banyak pengguna kendaraan pribadinya.

    BalasHapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam