Selasa, 16 Maret 2021

Bila Orangtua Toksik, Ke mana Anak Akan Kembali?

Sumber gambar : Pixabay

"Bila Orangtua Toksik, Kemana Anak Harus Kembali?"

Ciri-ciri orang tua toksik yang harus kamu ketahuiSeorang anak diberitakan melaporkan ibunya ke polisi karena masalah sepele, yakni membuang baju miliknya. Namun, setelah diselisik mendalam, ternyata poin utama pelaporan lebih pada tindakan si ibu yang berani memukul serta selingkuh di dalam rumah bukan masalah membuang baju seperti yang sering digaungkan.

***

Siapa yang sudah mendengar berita di atas? Saya yakin beberapa dari pembaca pernah melihatnya di layar kaca maupun media online. Awalnya saya tak terlalu peduli lantaran itu merupakan kasus yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Hanya saja, ketika saya mengetahui alasan logis si anak melaporkan ibunya, hati saya jadi greget bukan main.

Saya kemudian mulai membaca perlahan tiap informasi yang disajikan oleh beberapa media. Tentu saja, demi mendapatkan informasi terbaru dan mendetail. Hal paling menarik tentunya pada bagian komentar yang dibanjiri persepsi dari netizen.

Ada yang membela si anak karena ia tidak bersalah, tetapi tak sedikit pula yang menghujat, mengatai si anak durhaka sebab berani melawan ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Dari komentar-komentar hujatan itu, lalu muncul pertanyaan di benak saya. Apakah jika orangtua kita toksik, katakanlah melakukan kekerasan fisik atau mengatai dengan kalimat tak pantas, kita harus diam saja? Ah, bagi saya pribadi jawabannya tidak.

Sebagai anak yang lahir dari sosok ibu keras dan belum memiliki kedewasaan yang cukup, saya memahami apa yang si anak lakukan. Bagi saya, asal itu demi kebaikan bersama, memberi shock therapy pada orangtua yang toksik itu perlu. Apalagi bila orangtua sudah melakukan tindak kekerasan hingga masuk kategori kriminal. Diam saja tentu bukan suatu pilihan.

Siapapun mungkin setuju bahwa rumah merupakan tempat bagi tiap orang untuk kembali, termasuk bagi seorang anak yang telah lama merantau ke kota lain. Wajar bila rumah disebut sebagai "Home Sweet Home", sebab berada di dalamnya, diharapkan ada cinta yang mampu menghidupkan semangat dan kebahagiaan.

Ketika mengatakan rumah, pasti yang terbesit bukan hanya bentuk fisik bangunannya saja tetapi juga anggota keluarga yang mendiaminya. Entah itu ayah, Ibu, kakek, nenek, dan saudara kandung.

Meski demikian, sebagian besar anak selalu melayangkan pikiran bahwa saat pulang ke rumah, orangtua adalah sosok utama yang paling dicari dan dirindukan. Apa kamu juga sepemikiran?

Permasalahannya, tak semua anak mampu menganggap rumah sebagai tempat menemukan kedamaian. Banyak diantara mereka memilih pergi berlama-lama, menjauh dari rumah akibat tertekan dengan perilaku toksik yang datang justru dari orangtua.

Benar, memiliki orangtua toksik bukanlah isapan jempol. Di dunia ini, layaknya penciptaan gelap dan terang, Tuhan juga menciptakan oran tua dengan perangai baik dan buruk. Semua kisah-kisah mengenai anak dengan orangtua toksik cukup mudah ditemukan di mesin pencari, termasuk curhat di media sosial.

Menurut Psychology Today, orangtua yang melakukan pola asuh toksik cenderung tidak memperlakukan anak-anak mereka dengan hormat sebagai individu. Orangtua cenderung tidak mau berkompromi dengan anak, dan tidak bertanggung jawab atas perilaku mereka atau meminta maaf.

Belum banyak orang sadar mengenai keberadaan orangtua toksik. Terlebih, budaya dan ajaran agama selalu menempatkan orangtua di posisi mulia. Kondisi tersebut kadang membuat perlawanan anak dianggap sebagai tindakan durhaka sehingga lebih banyak anak korban ketoksikan orang tua memilih diam.

Padahal, belum tentu si anak memang durhaka. Bisa jadi itu bentuk penjagaan diri setelah ia mengalami luka batin dan fisik selama bertahun-tahun. Saat kemarahan memuncak, memaki bahkan melaporkan orangtua adalah tindakan paling manusiawi.

Kawan, demi menghidupkan empati dan pengetahuan kita terhadap anak-anak korban orangtua toksik. Berikut hal-hal yang perlu kita ketahui. Tentunya, bisa kita ambil pelajaran agar tak menjadi sosok orangtua semacam itu.

Menyuplik informasi dari The Asian Parent, ada 7 ciri bahwa orangtua telah melakukan tindakan toksik. Disadari atau tidak, tindakan-tindakan itu mampu memunculkan depresi hingga tindakan bunuh diri pada anak.

Mengungkit apa yang telah dilakukan untuk anak

Selama membesarkan anak, orangtua pastinya mengorbankan bukan hanya tenaga dan uang tetapi juga waktu dan pikiran. Bagi orang tua yang ikhlas dan penuh cinta, semua itu merupakan kewajiban. Ya, namanya diberi anugerah berupa anak, pengorbanan itu adalah lazim dan tak perlu diungkit.

Tapi berbeda dengan orangtua toksik, saat marah atau mengalami depresi, orangtua toksik akan mengungkit semua pengorbanan yang diberikan kepada anak dengan bahasa intimidatif. Tak jarang ungkitan itu memicu rasa takut serta bersalah dalam diri anak hingga dewasa.

Menyalahkan anak dan memberi kritik berlebih

Dalam rumah tangga pastinya ada masalah-masalah yang selalu mendera. Ketika masalah memunculkan konflik di keluarga, orangtua toksik cenderung mencari sasaran pelampiasan yakni anak. Anak yang sebenarnya tak ada hubungannya sama sekali dengan pertengkaran justru disalahkan.

Misalnya muncul kalimat "Mama, menyesal punya anak kayak kamu, gak berguna sama sekali?!!" atau "Biaya bulanan kita membengkak banget sih Ma, pasti gegara biaya sekolah si Anton!!!"

Egois dan Kurang empati

Orangtua toksik memiliki sikap kasar dan mementingkan diri sendiri. Apapun yang mereka miliki tak sudi untuk dibagikan kepada anak karena tak ada belas kasih. Hah, emang ada orangtua seperti itu? Ada. Saya adalah anak yang memiliki ibu dengan karakter demikian, lebih mementingkan diri sendiri daripada anaknya.

Setiap berbelanja pakaian, makanan atau barang-barang, ibu selalu menyimpannya untuk pribadi. Tak pernah mau membaginya. Berbeda dengan bapak yang mau membagi banyak hal. Saya dan saudara biasanya membeli barang dari uang pemberian bapak atau simbah. Sebuah realita yang kadang sulit dipahami, bukan?

Reaktif secara emosional dan dramatis

Orangtua toksik dalam menanggapi sesuatu akan memiliki reaksi berlebihan padahal untuk masalah sepele. Misalkan salah meletakkan sesuatu, mereka akan memunculkan kemarahan yang tak wajar beserta kata-kata makian kasar nan mengerikan. 

Suka mengontrol

Orangtua toksik sangat suka mengontrol penuh tindakan anak-anak mereka. Akibatnya, anak jadi tak mampu mengambil keputusan sendiri karena terbebani dengan larangan atau perizinan dari orangtua. Padahal yang dilakukan anak bersifat positif. 

Contohnya, melarang ikut kegiatan ekstrakurikuler karena dianggap tak berguna serta membuang uang. Percaya atau tidak, ibu saya pernah mengatakannya sehingga selama sekolah, saya tak pernah mengikuti kegiatan apa-apa.

Kurang menghargai

Orangtua toksik cenderung kurang bisa menghargai setiap kelebihan yang dimiliki anak. Tak ada yang namanya apresiasi untuk membuat anak merasa bahagia dan termotivasi.

Suatu hari saya pernah mendapat juara 7 lomba Bahasa Jawa tingkat kabupaten. Lalu, saking bahagianya, saya memberitahukan itu pada ibu. Tahu apa jawaban beliau? Beliau meneriaki saya tak mampu, meneriaki saya "bodoh" karena tak bisa masuk 3 besar. Sungguh, itu momen yang tak bisa saya lupakan sampai sekarang. 

Menuntut berlebihan

Menuntut anak secara berlebihan termasuk kategori orangtua toksik. Bagaimana tidak? Anak seharusnya bisa berkembang sesuai dengan naturalnya proses yang ia jalani. Misalnya soal memilih sekolah, jurusan, impian bahkan tujuan hidup. Namun, rumah yang di dalamnya ada orangtua toksik, proses kehidupan anak didasari tuntutan orang tua.

Saya pernah menemukan pengalaman teman yang dituntut orangtuanya masuk ke jurusan IPA saat SMA. Padahal secara akademis, ia memiliki kemampuan lebih di jurusan IPS. Kemudian, orangtuanya datang ke sekolah, meminta agar anaknya dipindahkan ke jurusan IPA.

Setelah diadakan musyawarah di ruang BK, si anak mengakui ia lebih menyukai ilmu sosial dibuktikan dengan nilai-nilai perbandingan IPA dan IPS di raportnya. Dengan berat hati, akhirnya kedua orangtua teman saya ini mau menerima anaknya masuk jurusan IPS.

***

Parenting yang tidak tepat sangat berdampak buruk bagi perkembangan mental anak. Anak akan mengalami ketidakstabilan emosional karena terbiasa ditekan dengan kalimat-kalimat makian atau larangan. Bila itu dilakukan secara terus menerus, tak jarang anak akan mengalami kelainan psikis hingga dewasa.

Mungkin saja, sifat toksik itu akan dibawa anak saat ia menjadi orangtua nanti. Seperti masuk ke medan looping yang tiada habisnya, sifat itu akan terus diwariskan, kecuali ada yang berani memutus mata rantainya.

Nah, agar tindakan toksik bisa diputus mata rantainya, maka anak yang menjadi korban harus memiliki kesadaran penuh, berusaha ikhlas dan melatih sikap agar tak melakukan kesalahan yang sama. Bila perlu, menjauh dari rumah adalah keputusan paling benar bila ketoksikan orangtua sudah pada tahap mengerikan.

Sekali lagi, rumah merupakan salah satu sarana edukasi dan membangun kehidupan. Rumah adalah tempat utama seorang anak bercerita dan merindukan kehangatan. Bila di dalam rumah anak tak mendapat kebahagiaan, justru tekanan batin dari orangtua. Lantas kemana mereka harus kembali?

Kawan, menjadikan rumah sebagai tempat nyaman yang akan dirindukan anak kelak, kita sendiri yang menentukannya. Mari mulai menjadi orangtua atau calon orangtua yang baik melalui edukasi serta pengendalian emosi yang tepat. Salam hangat.

"Artikel ini juga tayang di Kompasiana dan mendapat predikat Headline atau Artikel Utama"

2 komentar:

  1. Kata toksik alias beracun itu sendiri adalah sesuatu yang relatif. Seorang anak yang sedang dalam masa perkembangan bisa menerjemahkan pernyataan yang sebenarnya biasa-biasa saja dan bertujuan baik sebagai toksik. Padahal itu adalah kesalahan yang terjadi karena dia tidak memahami tujuannya.

    Memang sih pada akhirnya tugas orangtua untuk menjelaskan soal hal ini agar si anak memahami.

    Bagaimana kalau si orangtua benar-benar toksik? Saya tidak bisa menjawab karena batasan toksik itu tidak jelas dan beragam. Masing-masing orang akan memiliki sudut pemahaman yang berbeda.

    Yang saya tahu, pengalaman memiliki anak yang sudah mendekati dewasa adalah orangtua harus mau belajar untuk memahami anak dan berusaha menyesuaikan agar yang disampaikan kepada si anak bisa tersampaikan dengan baik.

    BalasHapus
  2. Terima kasih Mas Anton atas komentarnya,

    Ya, kalau dilihat dari perkembangan saat ini, kita juga mengenal istilah toxic positivity yang biasanya dikaitkan dengan pernyataan bernilai positif bagi yg berbicara tapi punya pengaruh negatif pada penerima.

    Tapi dalam kasus ini, saya berbagi pengalaman soal orang tua yang memiliki perilaku yang membuat anak seakan tak memiliki arti.

    Banyak sebenarnya contoh yang bisa dicari, termasuk ketika saya baca2 di Quora :)

    Salam hangat dari saya,

    BalasHapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam