Selasa, 02 Juni 2020

Ketika Asap Rokok dan Korona Mengancam Kesehatan Keluarga di Rumah

Saat ini, kesehatan anggota keluarga terancam bukan hanya oleh virus Korona, tetapi juga asap beracun yang disebarkan melalui kebiasaan merokok di area rumah.

***
Bapak dari teman masa kuliah dulu, sebut saja Pak Doni (bukan nama sebenarnya) merupakan seorang perokok berat. Suatu hari ketika hendak mengerjakan tugas presentasi, saya datang ke rumah teman tersebut dan duduk di ruang tamu. Begitu santai, terlihat Pak Doni merokok di area TV yang berdekatan dengan ruang tamu. Otomatis asapnya menjalar kemana-mana, termasuk ke tempat dimana kami mengerjakan tugas.

Selepas menghirup asap rokok tersebut, saya batuk-batuk dan merasa sesak. Pada akhirnya kami memutuskan memindah lokasi pengerjaan tugas di teras rumah. Teman saya segera meminta maaf setelah tahu saya tak nyaman dengan asap rokok, ia mengatakan bahwa bapaknya, Pak Doni, merupakan seorang perokok berat. Bahkan, apabila tak merokok sehari saja, Pak Doni akan merasa gelisah dan marah.

***
Semenjak pandemi Korona merebak, pemerintah mulai memberlakukan beberapa kebijakan seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), social distancing dan WFH guna mencegah meluasnya penyebaran virus. Kebijakan tersebut kemudian mengarahkan masyarakat untuk beraktivitas  penuh di dalam rumah. Harapannya, rumah mampu menjadi sarana berlindung bagi masyarakat dari bahaya Korona.

Tatkala setiap orang berada di dalam rumah, nyatanya ada ancaman lain yang mengintai kesehatan keluarga selain penularan virus Korona, yakni polusi udara yang disebabkan oleh asap rokok. Benar, tak dipungkiri bahwa hampir tiap keluarga di Indonesia, pasti ada anggotanya yang merokok. Jika sudah begini, lingkungan rumah bukan lagi tempat aman bagi keluarga, tapi justru membahayakan.

Sebagai anak yang terlahir dari orangtua bukan perokok, saya termasuk orang yang jarang berdekatan serta mudah merasa sesak ketika menghirup asap rokok. Oleh karena itu, setiap mendapati orang hendak merokok, saya selalu berusaha menghindar sejauh mungkin, tindakan itu pula yang saya lakukan saat melihat bapak teman saya merokok.

Mirisnya, beliau melakukannya di dalam rumah, tepatnya di ruang TV yang notabene tempat berkumpulnya anggota keluarga. Bukankah itu perilaku yang cukup egois? Waktu itu teman saya diam, ia tak berani menegur Bapaknya, mungkin karena tak enak. Melihat cara Pak Doni merokok, kelihatannya beliau ini sudah terbiasa melakukannya di dalam ruangan.

Sebenarnya, kebiasaan merokok di dalam tempat tertutup bukan kali pertama saya rasakan. Sebelumnya, saya pernah menemukan orang merokok di dalam angkot, bus, hingga warung makan. Ingin rasanya menegur, tapi kok gak enak. Muncul perasaan canggung karena saya juga tak mengenal mereka. Bagi beberapa orang, merokok sepertinya sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan.

Menurut laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok nomor wahid di Asean, yakni sebanyak 65,19 juta orang pada tahun 2016.
Sumber : Katadata.co.id
Angka tersebut setidaknya memperlihatkan pada kita semua, bahwa dalam keluarga minimal ada 1 orang perokok. Permasalahannya, meskipun hanya 1 orang, namun risiko polusi akibat hembusan rokok mengancam setiap orang, termasuk keluarga apabila dilakukan di area rumah.

Kawan, saat kamu memutuskan untuk jadi perokok, ada orang-orang terdekatmu yang bisa menjadi korban dari asap rokok yang kamu semburkan. Mereka menghirup sedikit demi sedikit zat yang keluar dari asap rokok tersebut, hingga tak terasa masuk ke dalam tubuh. Jika sudah seperti itu mereka akan menjadi perokok pasif dan berisiko terkena penyakit serius layaknya dirimu. Tahukah kamu berapa proyeksi perokok pasif di Indonesia?
Sumber : Katadata.co.id
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab utama kanker paru dan mengakibatkan lebih dari dua pertiga kematian di dunia. Bahaya asap rokok bukan hanya berlaku pada perokok aktif. Tetapi juga berlaku terhadap para perokok pasif, entah itu di rumah maupun di tempat kerja juga meningkatkan risiko terkena kanker paru. Mirisnya, jumlah perokok pasif di Indonesia ternyata lebih tinggi.

Tahun 2019 lalu, berita duka datang kepada masyarakat Indonesia. Sutopo Purwo Nugroho, humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), berpulang ke Rahmatullah. Beliau merupakan tokoh kemanusiaan yang gencar menginformasikan dan mengajak masyarakat untuk selalu kuat menghadapi bencana-bencana yang terjadi. Tak heran, ketika berita tersebut hadir, setiap orang merasa begitu kaget dan sedih. 
Sumber gambar : BPBD Prov. NTB
Publik kehilangan salah satu sosok inspirasi yang berjasa besar dalam bidang kebencanaan. Diketahui melalui dari berbagai media, Pak Sutopo meninggal karena kanker paru-paru yang dideritanya selama beberapa tahun belakangan. Satu hal yang mencengangkan, beliau dikenal sebagai orang yang tak merokok, namun malah kedapatan menderita kanker paru-paru. Mengapa bisa begitu?

Ternyata, lingkungan sekitar Pak Sutopo bekerja, banyak yang merokok. Sebagai sosok aktivis yang memiliki mobilitas tinggi, beliau tak pernah bisa memilih akan berada di lingkungan penuh asap rokok atau tidak, semua tempat beliau terjang bersama rekan-rekan seperjuangan tanpa pandang bulu. Ya, itu semua demi menyebarkan informasi kebencanaan kepada masyarakat.

Sekitar tahun 2017 lalu, pria kelahiran Boyolali tersebut, harus menerima kenyataan setelah divonis dokter menderita kanker paru stadium lanjut. Ya, Pak Sutopo merupakan satu dari sekian banyak korban keegoisan manusia yang tak mampu menempatkan diri dalam berperilaku. Penyakit kanker paru yang beliau derita, berasal dari akumulasi paparan asap rokok oranglain. Beliau merupakan perokok pasif.

"Lho, merokok itu hak setiap orang lho!"

Memang, apabila membicarakan hak asasi manusia, setiap orang memiliki itu, bahkan seorang perokok sekalipun. Akan tetapi, pada sisi yang lain perokok juga harus memahami situasi dan tempat. Tak bisa sembarangan menghembuskan asap rokok ke segala arah. Sebab, imunitas tubuh tiap orang itu berbeda-beda. Bisa jadi asap rokokmu membahayakan oranglain karena kandungan zat yang dimiliki.
Rokok nyatanya mengandung zat-zat kimia berbahaya yang mampu merusak tubuh, terutama paru-paru dan organ saluran pernafasan lainnya. Bayangkan jika tiap batang rokok mengandung ribuan zat kimia tersebut. Berapa total risiko yang ditimbun para perokok ini tiap harinya? Saya pernah menemukan perokok yang bisa menghabiskan 2 bungkus rokok dalam sehari. Ngeri bukan?
Sebenarnya para perokok paham bahwa pada setiap hisapan yang mereka konsumsi, mengandung senyawa kimia berbahaya bagi tubuh sendiri maupun orang lain. Namun, efek ketergantungan yang muncul dari zat nikotin menyebabkan candu yang tak bisa dihentikan. Layaknya menggunakan narkoba, perokok akan mengalami ketagihan. Imbasnya, meskipun mereka tahu bahwa rokok itu buruk bagi kesehatan, tetapi mereka tak bisa menghentikannya.
Berkenaan informasi penyebaran virus Korona di Indonesia, diketahui hingga 2 juni 2020, jumlah pasien positif mencapai 27.549, dengan rincian 17.951 tengah mendapat perawatan, 1.663 meninggal dunia dan 7.935 sudah dinyatakan sembuh. Jika diamati jumlah pasien positif semakin bertambah setiap harinya. Hal itu tak lepas dari beberapa faktor risiko yang mampu meningkatkan penyebaran.

Pada tanggal 20 Mei 2020 lalu, saya mendengarkan talkshow #PutusinAja di ruang publik KBR.ID yang bertema "Rumah, Asap Rokok, dan Ancaman Covid-19". Talkshow tersebut menghadirkan 2 narasumber handal yakni dr. Frans Abednego Barus, Sp.P (Praktisi sekaligus dokter Paru) dan Nina Samidi (Manajer Komunikasi Komnas Pengendalian Tembakau).
Sumber Gambar : Instagram KBR
Ada banyak hal menarik yang dibahas dalam talkshow tersebut, termasuk menyoal perilaku merokok sebagai salah satu faktor kerentanan pasien meninggal akibat Korona. Mengapa bisa demikian? dr. Frans mengatakan bahwa setiap asap rokok yang terhirup, akan merusak bangunan saluran nafas yang memiliki 2 daya tahan yakni daya tahan mekanik dan daya tahan kimia.

Daya tahan mekanik yaitu rambut-rambut halus bernama Silia yang berfungsi untuk mengusir kuman dan mengarahkan benda asing keluar dari saluran nafas, sedangkan daya tahan kimia biasa disebut IgA (Immunoglobulin A) berfungsi sebagai antibodi yang melapisi saluran pernafasanPerokok biasanya tak memiliki lagi Silia sebagai daya pertahanan mekanik serta IgA sebagai daya pertahanan kimia.

"Hal inilah yang kami pikir sebagai klinisi kenapa pasien anak justru lebih kuat daripada orang dewasa terhadap korona , sebab mereka belum terpapar polusi dan belum menjadi seorang perokok sehingga daya tahan saluran nafasnya lebih besar" (dr. Frans Abednego Barus, Sp.P)

Beliau juga menjelaskan bahwa kelompok laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena Korona ketimbang perempuan. Ya, lagi-lagi itu disebabkan oleh kebiasaan merokok yang pada akhirnya merusak fungsi paru-paru. Jika paru-paru sudah rusak, penyakit Pneumonia, Bronkitis hingga Korona rentan menyerang dan memperparah keadaan pasien.
Berdasarkan infografis di atas, 3 negara yang diketahui memiliki pasien Korona tertinggi yakni Italia, China dan Korea Selatan memiliki proporsi kematian akibat Korona lebih besar terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Hal tersebut terjadi karena kenyataannya tiga negara itu memiliki angka perokok yang cukup besar.

Selain merokok, faktor lain yang melahirkan kerentanan terhadap Korona adalah faktor usia dan penyakit penyerta. Di China, 81 persen pasien meninggal berusia 60 tahun ke atas dan 74 persennya memiliki penyakit bawaan seperti hipertensi, bronkitis, diabetes, kanker paru, jantung dan panyakit kardiovaskuler lainnya.

Di Indonesia sendiri, rentang usia pasien yang meninggal akibat Korona berada pada kisaran 30-80 tahun. Sama seperti negara lainnya, keberadaan komorbid atau penyakit penyerta juga meningkatkan risiko kematian. Apabila di ulik lebih dalam, beberapa Komorbid juga disebabkan oleh kebiasaan merokok.
Begitu mengerikan pengaruh rokok terhadap kesehatan  masyarakat, karena ia mampu menjadi penyebab kerentanan terinfeksi virus Korona hingga penyakit-penyakit berat lainnya. Mungkin banyak orang bertanya "Bagaimana jika merokok konvensional diganti dengan rokok elektrik atau Vape?".

"Beberapa literatur menyebutkan bahwa bahaya vape bukan hanya pada nikotin tetapi juga kandungan zat kimia lainnya seperti gliseril dan glikol, sehingga oranglain yang menghirup asap tersebut bisa berbahaya" (Nina Samidi)

Pada dasarnya, bahan yang terkandung antara rokok tembakau dengan rokok elektrik itu berbeda. Rokok elektrik mereduksi tar dan karbon monoksida karena mengeluarkan uap bukan asap. Meski demikian, rokok elektrik tetap membahayakan bagi kesehatan, sebab ia pun memiliki bahan-bahan kimia yang mampu merusak organ tubuh. Tak hanya itu saja, penggunaan secara bergantian pipa vape mampu meningkatkan risiko penularan virus Korona.
Saat ini, selain Covid-19, tiap anggota keluarga juga terancam kesehatannya karena paparan asap rokok.  Sebab, terjadi perubahan lokasi merokok yang biasanya dilakukan di tempat kerja, halte, pasar, warung, terminal atau jalanan, menjadi di area rumah. Entah itu di dalam, teras atau lokasi lainnya. 

Sungguh, paparan asap rokok tak bisa dianggap enteng. Ketika rokok terbakar, zat kimia yang terkandung di dalamnya juga ikut terbakar dan menguap bersama asap. Lalu, asap-asap tersebut akan mengendap ke lingkungan sekitar. Apabila kedapatan anggota keluarga merokok di dalam rumah, residu dari asap rokok itu bisa menempel di kasur, sprei, meja, tembok, gordin dan setiap peralatan yang terkena asap.

Nah, selain perokok pasif atau second hand smoker, pernahkah kamu mendengar istilah "Third hand smoker"? Istilah tersebut mungkin belum terlalu dikenal. Third hand smoker mengacu pada seseorang yang terkena residu asap rokok yang menempel di permukaan benda di sekitarnya. Biasanya mereka adalah bayi, anak-anak dan para lansia.

Berdasarkan informasi yang dicuplik dari Kompas lifestyle, seorang peneliti bernama Dr Georg Matt yang berasal dari Universitas San Diego mengatakan bahwa zat sisa asap rokok mampu bertahan di permukaan benda dalam waktu relatif lama, khususnya dalam rumah. Oleh karena hal tersebut, rumah menjadi sumber dan penampungan utama polutan asap rokok.

Selama masa pandemi Korona berlangsung, anak-anak, perempuan dan lansia memiliki kerentanan untuk menjadi menjadi second hand smoker dan third hand smoker di rumah. Tentu saja ini terjadi ketika pihak perokok meninggikan ego dengan melanjutkan kegiatan merokoknya di area rumah, khususnya di dalam.

Sedih rasanya jika kita diancam 2 bahaya sekaligus, asap rokok dan Virus Korona. Ibarat ungkapan "keluar dari mulut Macan masuk ke mulut Buaya", kita berniat jaga kesehatan dengan stay di rumah tetapi malah terancam bahaya dari asap rokok yang keluarga sendiri hembuskan.
Menghentikan kebiasaan merokok bagi orang yang sudah kecanduan memang cukup sulit. Kalau tidak dari kesadaran diri sendiri atau melalui rehabilitasi, mungkin akan membutuhkan waktu. Namun, jika dalam satu keluarga memang ada yang menjadi pecandu rokok dan itu mengganggu, perlu dibuat kesepakatan serius terkait penempatan lokasi dan waktu saat ingin merokok.

Ibaratnya gini, ketika pasangan memutuskan akan menikah, mereka pasti memiliki planing-planing untuk menata keluarga kedepannya. Baik menyoal finansial, investasi, hingga keputusan bersama terkait habits masing-masing, pun menyangkut perilaku merokok. Saya rasa tiap anggota keluarga, baik istri, anak atau orangtua memiliki hak untuk mengarahkan bahkan melarang.

Mengapa demikian? Menciptakan suasana rumah yang nyaman dan sehat memang harus sesuai dengan kesepakatan anggota keluarga. Semisal, bapak pecandu rokok namun anggota keluarga lainnya terganggu atau memiliki sakit pernafsan, maka harus ada diskusi lebih lanjut untuk mencari win win solution.

Lebih bagus lagi bila si perokok sadar dan memutuskan berhenti merokok setelah menikah atau memiliki anak. Seperti pengalaman Ibu Yuminah Rahmatullah (Ketua Fatayat NU Depok) dalam talkshow ruang publik KBR, kurang lebih pengalaman beliau seperti ini,

Jadi pernah suami saya merokok beberapa kali, saya gak suka, lalu saya terapkan no smoking. Dia (suaminya) memang asalnya gak merokok, hanya ikut-ikutan kiainya. Jadi sampai sekarang suami gak pernah merokok lagi, hanya beberapa kali saja. Anak saya karena ngelihat ayahnya ngerokok, pernah ikut, apalagi dia usia remaja. Setiap saya melakukan sosialisasi KTR, biasanya anak-anak ikut kumpul, sedini mungkin saya berikan penjelasan ke anak-anak sehingga mereka tidak merokok"

Ibu Yuminah merasa terganggu (sesak dan batuk-batuk) dengan aktivitas merokok suami dan anaknya. Sebagai seorang ibu dan istri, beliau memiliki hak untuk mengingatkan dan melarang dengan memberikan penjelasan yang logis. Pada akhirnya suami dan anak Bu Yuminah mulai menghentikan kegiatan merokok mereka. Jikapun masih, mereka melakukannya di tempat yang lain, bukan di area rumah.

Saya pikir, tindakan Bu Yuminah sudah sangat tepat. Beliau ingin menciptakan rumah yang sehat, bersih dan nyaman bagi keluarga, apalagi selama pandemi Korona ini berlangsung. Dibutuhkan ketegasan untuk menasehati atau mendiskusikan solusi supaya setiap anggota keluarga mendapatan hak untuk sehat di rumah mereka sendiri tanpa takut terancam Korona maupun penyakit akibat asap rokok.

Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN sebagai negara yang memiliki perokok aktif, yakni sebesar 65,19 persen. Begitupun dengan perokok pasif yang mencapai angka 75 persen. Jumlah ini akan meningkat tiap tahunnya mengingat anak-anak banyak yang mengikuti budaya merokok orangtua atau lingkungan bermain mereka.

"Anak-anak itu peniru ulung, pertama dia akan meniru lingkungan terdekat, entah orangtuanya, pamannya, dan sebagainya. Yang kedua lingkungan eksternal seperti iklan-iklan rokok di dekat sekolah mereka, televisi, internet, semua itu mendorong mereka. Apalagi iklan tersebut mengesankan seolah merokok merupakan perilaku yang keren dan sebagainya" (Nina Samidi)

Mengenai perilaku merokok, tentunya kita tak mau generasi muda melakukannya. Merokok mampu mencederai hak hidup sehat yang seharusnya anak-anak nikmati. Apalagi, merokok juga membahayakan oranglain melalui asap beracun yang dihembuskan, secara tidak langsung, perilaku tersebut mampu membunuh oranglain.

Sebenarnya kesadaran masyarakat mengenai bahaya rokok itu sudah ada, hanya saja kesadaran tersebut perlu didorong secara tegas melalui aturan pemerintah. Dengan demikian kebiasaan merokok masyarakat bisa diminimalisir.
Menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Arti KTR sendiri merupakan area terlarang yang di dalamnya tidak boleh ada sama sekali aktivitas merokok. Begitu pula dengan segala kegiatan produksi dan distribusi rokok seperti membuat, menjual, mengiklankan maupun mempromosikan rokok. Nah, lokasi yang termasuk KTR seperti fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, dan tempat kerja harus bebeas dari asap rokok.

Masalahnya, masih banyak perokok atau perusahaan rokok yang ngeyel dengan mengabaikan larangan tersebut. Di dekat kampus saya dulu misalnya, baliho iklan rokok masih terpampang nyata. Padahal promosi di wilayah pendidikan termasuk dilarang. Peran pemerintah disini sangat penting. Ketegasan dalam pelarangan aktivitas melalui sanksi hukum harus diterapkan. Oh iya, untuk ranah keluarga, KTR juga perlu diterapkan oleh setiap rumah agar habit merokok di dalam ruangan bisa dihilangkan.

Melarang Penjualan Rokok secara Bebas

Di Indonesia, rokok bisa didapatkan dengan mudah. Di minimarket, di pasar, bahkan di warung kelontong sekalipun menjual rokok secara eceran. Akibatnya, orang dewasa bahkan anak-anak bisa dengan mudah mendapatkan rokok. Harga rokok pun terbilang masih murah karena masih bisa dijangkau masyarakat kelas menengah kebawah. 

Apakah ada negara yang sudah menerapkan larangan penjualan rokok secara bebas? Nyatanya ada lho. Menurut Nina Samidi, beberapa negara seperti Boswana, India dan Afrika Selatan sudah melarang penjualan rokok secara bebas. Hal tersebut dilakukan supaya masyarakat tidak sembarangan merokok.

Saat ini, diketahui telah beredar rokok ilegal dengan harga sangat murah. 1 bungkus rokok ilegal bisa dihargai Rp 8000,-. Padahal, kisaran harga rokok legal mencapai minimal Rp 20.000,- per bungkus.

Menurut saya pribadi, perlu pelarangan penjualan rokok legal bercukai maupun ilegal di warung kecil supaya anak-anak tak mudah menjangkaunya, termasuk para orangtua mereka. Sidak dari petugas harus digencarkan untuk menghindari tersebarnya rokok ilegal secara bebas.

Menambah Imbauan 'Bahaya Merokok' untuk mencegah Korona

Kerentanan korona muncul karena asap rokok bukanlah isapan jempol. Menurut dr Frans, rokok mampu merusak sistem mekanik dan kimia dari seseorang. Jika sudah rusak, organ pernafasan mudah terserang virus, bakteri hingga kanker. Tak heran, saat virus Korona menginfeksi perokok, risiko kematian menjadi lebih besar.

Dengan adanya fakta ilmiah tersebut, pemerintah seharusnya menambah imbauan bukan hanya mengenai phisical distancing, menjaga kebersihan tubuh, memakai masker, tetapi juga menambahkan larangan merokok demi mencegah penularan covid-19. Imbauan ini mungkin terlihat sepele, tetapi paling tidak ada penambahan informasi kepada khalayak mengenai hubungan penularan Korona dengan kebiasaan merokok sehingga antar anggota keluarga bisa saling menasehati.

Menetapkan lisensi penjualan rokok

Aturan lisensi ini merupakan kelanjutan dari pelarangan menjual rokok secara bebas. Beberapa negara seperti Tiongkok, Argentina, Singapura, Thailand, Amerika Serikat dan Jepang sudah mulai menerapkan aturan mengenai penjualan rokok. Layaknya menjual minuman beralkohol, setiap toko harus memiliki lisensi dari pemerintah.

Saya pernah melihat sebuah acara yang mengulas tentang Jepang. Di negeri sakura tersebut teknologi sudah canggih. Untuk mesin penjual rokok dan bir pun, sudah diberi sensor tertentu sehingga anak-anak di bawah umur tidak mampu membeli rokok maupun bir secara bebas. Setiap toko disana memiliki aturan ketat soal rokok, bahkan harga rokok di Jepang sangat mahal.

Melakukan sosialisasi lebih mengenai "GERMAS"

Germas atau gerakan masyarakat hidup sehat merupakan kegiatan yang dicanangkan oleh kementerian Kesehatan RI kepada masyarakat supaya menjalankan perilaku-perilaku hidup sehat. Ada 7 tindakan yang disosialisasikan yakni melakukan aktivitas fisik, biasakan makan buah dan sayur, tidak merokok, tidak mengonsumsi minuman beralkohol, melakukan cek kesehatan berkala, menjaga kebersihan lingkungan dan menggunakan jamban.

Pemerintah perlu memperbanyak sosialisasi mengenai GERMAS ini kepada masyarakat luas. Misalnya dengan memberi kemudahan akses cek kesehatan, membantu dana pembuatan jamban, serta membuat aturan penjualan rokok dan minuman beralkohol. Nah, dari ranah keluarga di rumah, tiap individu mampu mengaplikasikan 7 tindakan GERMAS dengan saling mengajak dan menasehati. Soalnya, nasehat orang terdekat biasanya lebih mudah untuk diterima dan dilaksanakan.

Demikianlah solusi yang bisa diterapkan secara kolaboratif, baik dari ranah keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Kita tentu tak mau apabila Korona dan asap rokok menjadi senjata pembunuh bagi banyak orang, apalagi jika itu terjadi di dalam rumah, sebuah tempat yang notabene digunakan untuk berlindung. Melalui ketegasan kita semua, harapannya Korona dan penyakit berbahaya karena asap rokok bisa dilawan. Hai kamu! Iya kamu, mari #PutusinAja menghentikan kebiasaan merokokmu dari sekarang, itu semua demi kesehatan keluarga kecilmu kelak!


"Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur (ISB)"
Referensi : 
  • Talkshow Siaran publik KBR tema "Rumah, Asap Rokok, dan Ancaman Covid-19"
  • http://promkes.kemkes.go.id/germas
  • http://komnaspt.or.id/kawasan-tanpa-rokok/
  • https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/20/165610565/di-9-negara-ini-vape-dilarang?page=all
  • https://www.liputan6.com/news/read/2685363/potret-regulasi-tembakau-di-negara-lain
  • https://www.sehatq.com/artikel/kawasan-tanpa-asap-rokok-diperlukan-untuk-tujuan-ini
  • https://www.sehatq.com/artikel/10-penyakit-akibat-merokok-yang-perlu-diwaspadai
  • https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/19/130200923/kematian-pria-akibat-virus-corona-lebih-tinggi-ini-penyebabnya
  • https://news.detik.com/berita/d-4995262/pasien-corona-usia-30-59-banyak-meninggal-pemerintah-faktor-penyakit-bawaan
  • https://www.alodokter.com/memahami-jenis-dan-fungsi-tes-antibodi
  • https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/04/96-juta-orang-indonesia-jadi-perokok-pasif
  • https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/31/indonesia-negara-dengan-jumlah-perokok-terbanyak-di-asean

16 komentar:

  1. Banyak perokok yang abai pada hak-hak non perokok, mereka cuek menyemburkan asap rokok di area publik tanpa merasa bersalah, perlu ada aturan lebih tegas dan tersedianya smooking room agar tidak membahayakan orang lain.

    yang paling penting tentunya sosialisasi bahaya rokok sehingga mereka berani #PutusinAja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas bener banget. Aku sering banget menemukan perokok yang seperti itu, egois. Di tempat umum ngerokok sembarangan. Aku juga paham sih kalau merokok itu hak. Tapi dia harusnya juga paham kalau gak semua orang baik2 aja dengan asap rokok :(

      Hapus
  2. Ihhh ini sering banget kusaksikan di tempat umum. Orang merokok gak ngelihat lingkungan. Padahal aku sesek kalau ngehirup asap rokok, apalagi kalau di dalam rumah ya. Diluar rumah aja bikin sesek. Hadehhh. Kezelll

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha ya begitulah dek, kalau orang yang gak terbiasa sama asap rokok memang bakal sulit. Soalnya hubungannya kan sama kesehatan. Plisss stay away from rokok

      Hapus
  3. Peran semua pihak untuk menjaga bebas polusi adalah suatu keharusan ya, terutama kekuatan diri untuk tidak merokok dan dukungan pemerintah shg smakin klop deh utk jaga bebas asap rokok..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget kak, kalau gak kolaborasi rasanya bakal susah banget. Apalagi ini bicara soal habits

      Hapus
  4. Tidak banyak yang menyinggung bahaya rokok dan pandemi. Terima kasih KBR telah peduli

    BalasHapus
  5. Urusan sama rokok emang paling susah sih kak, soalnya dimana2 pasti aja ada orang ngerokok sembarangan. Dan paling bingung mau negur atau milih diam

    BalasHapus
  6. Saat pandemi makin gencar nih diingatkan ya bu Nila aja awal wabah sampai Indonesia langsung ingatkan perokok ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bu Nina Mbak hehe

      Iya, beliau memang aktif banget

      Hapus
  7. perokok itu mneurutk orang yg egois karena gak pernah mikirin orang lain yang kena dampaknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya begitulah mbak, harusnya sih kalau merokok tetep tahu lokasi dan orang disekitar. Maksudku harus ke tempat untuk merokok gitu

      Hapus
  8. Haloo mba nurul atau mba mutiara ehehe nama kita sama.
    Mau nanggepin bagian "merokok hak semua orang" yaaa bener sih, tapi menghirup udara yang segar juga hak setiap orang. Masa hak saya direnggut gitu aja :")
    Kalo saya sih biasanya pura-pura batuk mba, sengaja aja batuk yang kenceng biar orangnya merasa bersalah. Kalo dimarahin biasanya malah makin nyolot (berharap para perokok membaca ini) hahahaha.
    Tapi mba, kalo dilakukan pelarangan kasian juga karyawan2 yang ada di perusahaan rokok. Kebetulan saya tinggal di kudus, kota kretek, banyak perusahaan rokok besar (pasti tau) dan pasti banyak juga karyawannya termasuk tetangga2 saya. Kasian kalo sampe banyak yang menganggur :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe bener banget Kak Mutiara, saya juga memahami itu. Kalau dari konteks kita, mgkn pelarangan rokok itu bagus. Tapi dari konteks pekerja dan industri memang bisa merugikan. Sebenarnya win win solutionnya sih lebih pada harga dan lokasi merokok menurut saya.

      Okelah orang bisa merokok, namun memahami tempat supaya tidak memgganggu oranglain. Well, harapannya ada jalan tengah utk memgatasi dilematis yg terjadi.

      Salam hangat :)

      Hapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam