Rabu, 17 Agustus 2016

Ditanah ini aku memahami dan belajar (Dobangsan)

Beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel karya Bapak Yusran Darmawan. Dalam artikel tersebut, bercerita tentang kondisi para pemuda dan orangtua saat ini yang memiliki mindset tentang pekerjaan sebagai seorang petani bagi lulusan perguruan tinggi.

"Dilematika antara lulusan perguruan tinggi yang semakin jauh dari nilai-nilai budaya pertanian" 
Begitu kesimpulan dari artikel beliau.

Bahkan, para orangtua kadang rela menjual sawahnya supaya anak mereka bisa berpendidikan tinggi. Tak salah memang, justru bagus. Hanya saja ada mindset yang menurut saya sedikit keliru. Mindset bahwa pekerjaan sebagai petani itu rendahan, dekat dengan kemiskinan. Mindset itulah yang membuat para sarjana tidak pernah mau tahu dengan urusan sawah, ladang atau kebun.

Yah, mindset itu bahkan pernah tertanam dalam pikiran ini. 
Dulu, saat saya masih labil, saya hanya melihat sesuatu tak utuh. Menerima opini-opini secara mentah tanpa menelisik lebih lanjut mengenai makna dalam sebuah hal. Petani dan kemiskinan???

Ya, bisa saja benar namun memiliki peluang juga untuk jawaban salah.

By the way, yang ingin saya ulas kali ini adalah pengalaman saya hari ini bersama mbah Rukiyem. Pengalaman panen kangkung dan juga bertemu dengan petani-petani di Dobangsan. Bertemu mereka, banyak hal yang bisa kami bicarakan. Termasuk mengenai kalimat-kalimat yang menbuat saya merasa ironis. 

Oke saya mulai ya,hehe

Sore itu langit Dobangsan cukup mendung. Gak terlalu panas dan menyengat. Membuat suasana syahdu dan penuh dengan keindahan untuk dinikmati. Mbah kakung, biasa saya panggil merupakan suami mbah Rukiyem. 

Beliau setiap sore akan mengasah pisau dan sabit untuk kegiatan beliau membersihkan ladang, menanam bibit dan memanen. Sore itu beliau membawa seplastik bubuk berbentuk gula di punggung beliau. Saat saya tanya, beliau berkata kalau itu untuk ditaburkan pada tanaman bawang merah milik beliau.

Aku mengangguk mengernyitkan dahi, berusaha memahami setiap detail kata-kata yang beliau ucapkan. Selepas beliau berkata dan mengambil sabit, beliau segera membalikkan badan menuju ke kebun/sawah kembali.
Saya mengikuti beliau dari belakang. Penasaran.

Semenjak tanggal 1 agustus lalu, saya dan teman-teman KKN bahkan belum pernah membantu beliau bertani, dikarenakan kami harus menjalankan proker dan juga mempersiapkan beberapa kegiatan yang diadakan oleh warga. Maka dari itu aku kali itu mengikuti mbah kakung untuk bisa berinteraksi dengan dunia persawahan.

Berikut suasana rumah mbah Rukiyem tempat saya tinggal selama KKN


Rumah beliau berada diantara tanaman kacang yang bernama "Benguk".
Kacang benguk adalah bahan yang bisa digunakan untuk membuat tempe benguk. Berikut ini adalah tempe benguk yang sudah dimasak bersama santan.


Tempe benguk di atas akan berwarna hitam keunguan. Sesuai dengan warna kacang benguk.

Kembali ke cerita,
Saat saya berjalan mengikuti mbah kakung, ditengah sawah saya bertemu dengan mbah Rukiyem yang sedang memanen kangkung.
Saya segera menuju ke beliau, mengambil beberapa gambar untuk dokumentasi dan membantu beliau memanen kangkung-kangkung itu.




Memanen kangkung itu susah-susah gampang ternyata, gampangnya itu dilihat dari proses kerja. Saya tinggal memotong bagian batang yg paling dekat dengan tanah. Susahnya itu karena saya harus membungkuk sambil berjalan yang membuat kaki dan punggung saya pegal.

Saat memanen saya berpikir. "Di tukang sayur, saya selalu membeli sayuran tanpa tahu bahwa utk memanen beberapa meter saja sudah sepegal itu".

Intinya dari kegiatan memanen tersebut memang butuh kesabaran dan juga keuletan. 
Tidak mudah memang, tapi saya bahagia kemaren bisa belajar untuk berkotor-kotor dan juga berpanas-panasan di sawah.

Oh iya, saya iseng-iseng bertanya pada seorang bapak yang juga seorang petani. Beliau bernama bapak Supri. Saya bertanya pada beliau kenapa rata2 petani disini jarang yang muda. Beliau menjawab bahwa rata-rata anak muda di Dobangsan banyak merantau dan menjalankan pendidikan tinggi (kuliah). 

Lalu saya bertanya lagi, mengapa mereka tidak mau membantu orangtua mereka di sawah. Beliau juga menjawab kalau beliau tidak mau jika anak beliau menjadi petani, sebab menjadi petani itu susah. Beliau lebih menyukai anak2 nya menjadi pegawai.

Pak Supri menjelaskan lagi, bahwa putrinya juga seorang sarjana pertanian, dan sekarang sudah memiliki suami. 
Saya masih tetap kepo, 

Kepo apakah ilmu yang didapat putrinya tersebut aplikatif atau tidak. Dan ternyata tidak. Putri pak Supri memilih untuk Menikah dan tinggal dirumah.

Pak Supri berkata pada saya, mengenai kondisi sarjana yang saat ini susah mencari pekerjaan. Saya lantas berpikir dan merenung, bertanya pada diri sendiri.
"Benarkah susah mencari pekerjaan atau hanya kita lah yg terlalu melihat ke atas, mencari pekerjaan yg terlihat bagus dan memiliki prestis dimasyarakat.

Jika menjadi petani itu tak pernah menjadi cita-cita. Lalu siapa kelak yang akan menggantikan mereka. Apakah generasi muda tidak atau enggan menjadi petani?

Saya seolah merasakan dengan mata kepala sendiri bagaimana, mindset orang-orang, dalam arti disini adalah orangtua dan para pemuda mengenai pertanian.

Padahal ketika saya lihat, mereka memiliki asset yg berharga yakni tanah. Namun tak jarang yang memilih menjual tanah tersebut supaya bisa membiayai anak mereka kuliah, masuk kepolisian dan juga tentara. 

Tak salah memang. Hanya saja terkadang saya cukup menyayangkan jika asset yang dimiliki tidak dimanfaatkan secara optimal
Setiap saya berada di sawah itu rasanya seperti saya melihat kehidupan yang terdiri dari kebersamaan dan juga silaturrahim yang erat. 
Setiap orang saling menyapa dan tersenyum. Saya begitu kagum dengan itu.



Petani itu orang-orang hebat. Tanpa mereka kita tak akan bisa merasakan enaknya makan sayur, buah, nasi, ketela goreng, dan hasil-hasil pertanian.

Jika suatu hari kau mau menjadi seorang sarjana yang bekerja di bidang apapun, setidaknya jangan sampai melupakan bahwa pertanian, bidang agraris itu penting.



Jangan sampai ada mindset muncul bahwa pertanian itu miskin dan jangan sampai para generasi muda enggan untuk memodifikasi dan meninggalkan ciri khas bangsa ini. Negara agraris.

Post by : Nurul Mutiara Risqi A (Manajemen 2013 UNY) dibuat dari tanggal 16, selesai hari ini tgl 17 pukul 14.35 di Dapur Posko KKN Dobangsan)

1 komentar:

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam