Sabtu, 07 Oktober 2023

Nyalakan Lentera Mansinam, Jangan Biarkan Terangnya Padam!

Anak-anak Mansinam yang tengah membaca (Sumber : IG PFP)

Anak-anak adalah aset berharga bagi sebuah bangsa. Anak-anak yang sehat, ceria, dan cerdas merupakan bonus demografi yang tak bisa disangkal. Tak heran, banyak pihak terus mengupayakan agar setiap anak di negeri ini terpenuhi haknya, termasuk menyoal pendidikan.

Bicara mengenai pendidikan, sudahkah semua anak di Indonesia, dari Sabang hingga Merauke merasakannya? Jika melihat realita di lapangan, ternyata, masih banyak anak-anak Indonesia yang belum terakses pendidikan sehingga mengalami buta angka dan aksara. Persentase Anak Tidak Sekolah (ATS) masih tinggi. 

Data dari UNICEF menyatakan bahwa 4,1 juta anak-anak dan remaja berusia 7-18 tahun tidak bersekolah. Ironisnya, 20,7 persen ATS berada di Papua---provinsi paling timur dan termiskin di Indonesia (Susenas 2020).

Padahal, sepanjang 2020, Papua mendapatkan alokasi dana pendidikan sebesar Rp 1,62 Triliun dari dana otonomi khusus sebesar Rp 5,29 Triliun. Itu artinya, besarnya pendanaan yang diberikan belum satu jalur dengan jumlah ketercapaian pendidikan di Papua.

Miris? Tentu saja. Tanpa sentuhan pendidikan, anak-anak akan hidup dalam gulita aksara dan angka. Mereka tak mampu berkembang lebih jauh dan rentan dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggungjawab. 

Hingga saat ini, dua faktor dominan yang membuat wilayah Papua tak mendapatkan akses pendidikan yakni karena kurangnya tenaga pengajar dan fasilitas mengajar yang kurang memadai. Ya, Papua membutuhkan guru-guru terbaik untuk mendukung nyala terang pendidikan di dalamnya.

***

Ketika banyak anak muda berlomba untuk mencari tempat-tempat indah ke Raja Ampat untuk berwisata, Bhrisco Jordy Dudi Padatu justru mengambil keputusan berbeda. 

Ia bersama beberapa rekannya yang tergabung dalam Papua Future Project rela memecah ombak menuju Pulau Mansinam untuk menebarkan literasi dan semangat berpendidikan bagi anak-anak. 

Mansinam sendiri merupakan sebuah pulau kecil yang mengapung di wilayah Papua Barat. Jaraknya kurang lebih 12 kilometer dari Kota Manokwari. Biasanya, Jordy dan kawan-kawannya menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Masyarakat setempat biasa menyebutnya perahu Ketinting.

Peta Pulau Mansinam yang berdekatan dengan Manokwari (Google Maps)

Bila dilihat melalui peta, Pulau Mansinam berada di tengah laut. Tak ada moda transportasi darat yang bisa dimanfaatkan untuk menuju ke sana. Tak ada pula jembatan yang menghubungkan antar wilayah. Jalan satu-satunya yang bisa digunakan adalah menggunakan perahu Ketinting saja.

Salah satu kendala yang dihadapi Jordy bila menuju Mansinam adalah biaya sewa perahu. Setiap bulannya, ia menghabiskan dana sebesar Rp 250.000, sebab tiap naik perahu ia harus membayar biaya sebesar Rp 5000 sekali jalan. Biaya itu dikalikan jumlah ia harus bolak-balik dari Manokwari. Sehari bisa lebih dari satu kali.

Jordy dan kawan-kawan ketika menuju ke Pulau Mansinam (Foto : IG PFP)

Sebagai orang biasa, nominal tersebut tidaklah sedikit. Terlebih, Jordy kerap menggunakan uang pribadi yang ia dapat dari bekerja sebagai barista di salah satu cafe di lingkungannya. Kendala selanjutnya adalah perahu sering digunakan  para nelayan untuk bekerja sehingga Jordy harus menunggu para nelayan pulang dari melaut. 

Pantas bila Jordy bermimpi memiliki perahu sendiri, ia berharap dengan memiliki perahu, akan lebih mudah menuju ke Pulau Mansinam tanpa terhalang waktu dan biaya. Meski begitu, ia sadar bahwa membeli perahu sendiri artinya harus mengumpulkan pundi-pundi Rupiah karena harga satu perahu tidaklah murah.

Permasalahan Pendidikan di Pulau Mansinam

Dalam satu adegan di film Thailand berjudul Teacher's diary seorang guru bernama Pak Song mengajak anak didiknya bersekolah kembali. Chon---nama anak itu---sempat berhenti sekolah lantaran ingin menjadi nelayan dan pura-pura bercita-cita menjadi guru, dokter atau profesi lainnya.

"Chon, ayo kembali ke sekolah. Kau bisa menolong ayahmu mencari ikan nanti. Kalau kamu sekolah, tak ada yang bisa menipumu"  Pak Song (Teacher Diary)

Chon berasal dari keluarga nelayan sehingga perspektif tentang kehidupannya berkutat di lingkungan nelayan. Guru sebelumnya bernama Bu Ane merasa kecewa pada Chon dan anak didik lainnya karena cita-cita mereka tak sesuai ekspektasi. 

Bu Ana merasa sia-sia mengajar di sekolah apung. Toh anak-anak tetap ingin jadi nelayan, bukan pekerjaan-pekerjaan bonafid seperti guru, pilot, perawat atau dokter. Namun demikian, pemikiran Pak Song ternyata sedikit berbeda. 

Bagi Pak Song, perspektif pendidikan bukan pemaksaan. Mimpi anak-anak harus dibangun dari kesadaran diri, bukan berasal dari pemaksaan orang lain. Anak-anak di sekolah apung mungkin tak paham mengenai profesi seorang guru atau dokter. Realitanya, lingkungan yang berdekatan dengan laut telah membentuk mindset anak-anak untuk melanjutkan pekerjaan orang tua mereka, menjadi nelayan.

Pendidikan tak hanya bicara soal cara meraih cita-cita tinggi dan mendapatkan gelar tertentu. Tapi pendidikan juga berbicara mengenai langkah-langkah dasar agar seorang manusia tidak terjebak oleh gelapnya kebodohan yang bermuara pada tindak kejahatan. 

Pada dasarnya, ketika seorang anak mampu berhitung dan membaca, mereka tak bisa ditipu oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab. Tak bisa dipungkiri bahwa kejahatan yang memanfaatkan masyarakat pedalaman itu masih banyak misalnya TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Satgas TPPO, alam kurun waktu bulan Januari-Juli 2023 telah ditemukan hampir 2000 orang menjadi korban perdagangan orang. Korban TPPO didominasi oleh perempuan, yaitu 796 perempuan dewasa dan 475 anak perempuan

Para korban TPPO dijebak sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal sebanyak 65,5% dari total korban. Ada juga sebagai pekerja seks komersial (PSK) yang mencapai 26,5%. Modus lainnya adalah pekerja anak yang dieksploitasi sebanyak 6,6% dan anak buah kapal (ABK) sebanyak 1,43%.

Pendidikan dasar seperti berhitung dan membaca bagi anak nelayan sangat diperlukan. Bila anak-anak mampu menguasai literasi  dasar tersebut, minimal mereka akan sadar bila hendak ditipu. Literasi yang sama itulah yang tengah diusahakan oleh Jordy dan kawan-kawan di Pulau Mansinam.

Mansinam memang bukanlah Pulau terpencil yang sulit untuk ditembus layaknya pulau-pulau di tengah belantara hutan. Ia dekat dengan Kota Manokwari yang merupakan ibukota di Papua Barat dengan segenap pembangunan infrastrukturnya.

Namun demikian, Pulau Mansinam tak seperti Manokwari yang memiliki fasilitas cukup lengkap. Di Pulau yang dikenal sebagai tempat wisata religi itu justru mengalami ketimpangan menyoal pendidikan. 

Rata-rata anak-anak Pulau Mansinam belum mampu membaca dan menulis. Kondisi itu dipicu oleh fasilitas pendidikan yang masih minim. Jumlah gedung sekolah dasar saja hanya satu dengan tenaga pengajar yang terbatas.

Jordy bersama dengan siswa SD di Pulau Mansinam (Sumber : IG PFP)

Banyak tenaga pengajar berasal dari Manokwari sehingga mereka membutuhkan waktu untuk sampai ke Mansinam tiap harinya. Tak ayal, itu membuat para guru jarang datang untuk mengajar.

Yang lebih miris, tingginya budaya patriarki membuat anak-anak perempuan kesulitan untuk bersekolah. Mereka dianggap sebagai kaum kedua yang tak layak mendapatkan pendidikan karena akhirnya berkutat sebagai ibu rumah tangga.

Anak-anak Mansinam belajar di Pendopo (Sumber : IG PFP)

Problematika-problematika itulah yang membuat anak-anak di Pulau Mansinam mengalami buta angka dan aksara. Tentu hal ini berimbas pada penguasaan skill dan pengetahuan lainnya, termasuk teknologi. Anak-anak mungkin tak tahu bahwa melalui teknologi, mereka bisa melihat Indonesia melalui perspektif yang lain. 

“Cahaya lilin yang kecil mungkin tak akan terlihat ketika berpendar di lingkungan dengan sumber cahaya yang melimpah. Namun, cahaya yang kecil bisa sangat benderang kala berada di tempat yang gelap. Jangan pernah menyepelekan sesuatu yang terlihat kecil, sebab bisa jadi itu merupakan pendar paling dibutuhkan bagi orang yang dirundung gulita”

Melihat kemirisan itu, Jordy kemudian berpaya untuk membuat sebuah komunitas yang mampu mendorong literasi agar anak-anak di Mansinam bisa lebih teredukasi dengan cara-cara yang melokal dan menyenangkan. Lalu, tercetuslah sebuah komunitas bernama Papua Future Project.

Papua Future Project bukanlah komunitas yang dibentuk secara instan. Sebelumnya Jordy—inisiator program ini—memang memiliki passion di dunia pendidikan. Tepatnya tahun 2015, Jordy mengaku bahagia bisa mengajar anak-anak di lingkungannya.

Uniknya, Papua Future Project menggunakan Kurikulum khusus berbasis kearifan lokal. Kurikulum tersebut membimbing anak-anak secara intensif dan disesuaikan dengan kondisi sarana prasarana di Pulau Mansinam. Sebab, bila dipaksa menggunakan Kurikulum Nasional, maka anak-anak akan kesulitan menyerap pelajaran. Pun dengan para pengajar.

Bersyukurnya, di Mansinam ada sebuah pendopo milik gereja yang dipinjamkan sebagai lokasi untuk belajar. Di sana, interaksi antar anak-anak dan tenaga pengajar bisa dilakukan secara bebas dan menyenangkan. Kadang kala, Jordy dan kawan-kawan membawakan hadiah-hadiah kecil untuk menghidupkan semangat belajar anak-anak di Pulau Mansinam.

Tak hanya Belajar Aksara dan Angka tapi Juga Lingkungan

Saat ini dunia tengah merasakan apa yang disebut dengan perubahan iklim. Isu kerusakan lingkungan menjadi masalah krusial yang dihadapi seluruh dunia. Termasuk sampah.

Dulu, pulau Mansinam merupakan tempat yang indah dan asri. Lautan terlihat membiru dengan air sejernih kristal. Namun, semenjak masuknya banyak orang untuk wisata religi, sampah-sampah mulai berhamburan dan mengotori tanah hingga lautan.

Tindakan itu jelas membuat banyak orang merasa miris. Bila tak dilakukan pencegahan dari anak-anak, bisa jadi sampah-sampah itu akan terus menumpuk, lantas membuat Mansinam dibanjiri sampah anorganik yang mengerikan.

Anak-anak Mansinam diajarkan membuang sampah dan menjaga lingkungan

Melihat adanya hal itu, Jordy dan relawan lainnya juga memasukkan unsur lingkungan sebagai bagian dari pembelajaran. Dengan menyebarkan literasi mengenai lingkungan, anak-anak diajak untuk menghargai bumi melalui aktivitas sekecil apa pun. Bahkan, beberapa kali ia bekerjasama dengan pihak lain melakukan bersih-bersih pantai.

Kegiatan bersih-bersih pantai Jordy dan para relawan (Sumber : Story IG PFP)

Anak-anak Mansinam tentu belum paham istilah-istilah semacam global warming atau climate change. Tetapi, Jordy memberi pengetahuan penjagaan lingkungan sesuai dengan masalah yang terjadi di pulau tersebut. Dengan demikian, anak-anak bisa lebih sadar untuk menjaga rumah mereka.

Saat ini, kerja-kerja menebarkan pendidikan yang dilakukan Jordy telah menjangkau 14 Kampung di Papua Barat dan sudah melibatkan sekitar 725 anak-anak. Harapannya, pergerakan menyalakan lentera melalui literasi ini akan meluas dan membawa cahaya bagi masa depan anak negeri.

Satu Indonesia Award untuk Bhrisco Jordy Dudi Padatu

Semangat Jordy dalam menebarkan literasi bagi anak-anak Mansinam adalah dedikasi untuk masa depan Indonesia. Pendidikan merupakan cahaya yang menerangi kegelapan. Melalui pendidikan, anak-anak bisa mempelajari pengetahuan baru sebagai bekal hidup. 

Tak heran, melalui semangat yang disebarkan, Jordy memperoleh penghargaan SATU Indonesia dari Astra tahun 2022. SATU Indonesia sendiri merupakan program tahunan yang diadakan oleh Astra untuk menjaring anak-anak muda penuh inspirasi dan bermanfaat bagi orang banyak.

SATU Indonesia Award 2022 untuk Jordy atas dedikasi terhadap
Pendidikan (Sumber : Satu Indonesia)

Tahun 2023, Astra mengusung tema “Untuk hari ini dan masa depan Indonesia” dengan harapan melakukan kebaikan sejak dini untuk mencapai kemajuan di masa depan seperti Jordy dan kawan-kawannya.

Bagi Jordy, penghargaan SATU Indonesia bukan sekadar piala kosong tanpa makna. Jordy ingin lebih dikenal sehingga ada lebih banyak anak muda terinspirasi menebarkan ilmu seperti dirinya. 

Melalui Papua Future Project, Jody akan terus menyalakan lentera menuju tempat-tempat gelap ke daerah yang lain di Papua Barat. Ia bahkan mengajak para pendidik di wilayah Manokwari untuk mengajar dengan penuh semangat. Membimbing anak-anak dengan kurikulum khusus yang disesuaikan dengan kearifan lokal setempat.

Dear Jordy, tetaplah benderang bersama relawan-relawan pendidikan yang lain, nyalakan lentera pengetahuan di Pulau Mansinam dan Papua Barat yang membutuhkan, jangan biarkan terangnya padam. Mari mulai dari Papua untuk Masa Depan Indonesia.

Referensi : 

  • Webinar online bersama Bhrisco Jordy Dudi Padatu 
  • Wawancara Bhrisco Jordy Dudi Padatu di youtube
  • Boklet Astra
  • Instagram Papua Future Project berupa foto-foto
  • https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4647/kemenpppa-pelaku-perdagangan-orang-mulai-incar-masyarakat-berpendidikan 
  • https://www.antaranews.com/berita/3523185/polri-ungkap-405-kasus-tppo-selama-periode-2020-2023

23 komentar:

  1. Salah satu kendala penduduk yang tinggal di sebuah pulau, memang sarana transportasi ya, Mbak. termasuk di Pulau Mansinam. Dan keren nih, Jordy dan teman-teman dengan sukarela peduli, khususnya pada anak-anak, walaupun harus menggunakan uang pribadi naik perahu ketingting agar sampai di Pulau Mansinan. Semoga terus menginspirasi anak-anak m uda Indonesia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Pak Bambang. Cerita Jordy ini bener2 membuka mata bahwa masih ada anak2 yang belum tersentuh fasilitas termasuk pendidikan

      Hapus
  2. Di sisi lain merasa miris, ternyata masih banyak daerah di Indonesia yang fasilitas pendidikannya belum lengkap, seperti di Pulai Mansinan ini. Untungnya ada Kak Jordy dan teman-temannya, yang meski masih muda tapi kepeduliannya terhadap pendidikan sangat tinggi sehingga dengan sukarela menjadi relawan pendidikan di Pulai Mansinan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba. Dari Jordy, kita jadi tahu bahwa masih ada daerah di Indonesia yang membutuhkan bantuan untuk pendidika ln

      Hapus
  3. Inspiratif banget sosok Jordy ini, betul sekali literasi ini sangat penting lo. Semoga Indonesia menjadi lebih baik dnegan banyak sosok seperti Jordy

    BalasHapus
  4. semoga banyak lagi generasi muda selanjutnya yang seperti Jordy ini ya,
    karena pentingnya saling mendukung untuk kemajuan pendidikan negeri ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, betul banget Mba Fenny. Saling mendukung adalah kunci

      Hapus
  5. Sosok inspiratif karena perjuangannya gak mudah untuk menebarkan ilmu pada anak-anak di pedalaman, menarik juga kurikulumnya, berbasis lokal. Butuh banyak sosok kak Jordy untuk yg belum mengenyam pendidikan

    BalasHapus
  6. Memang pulau yang ada di pedalaman butuh perhatian khusus terutama masalah pendidikan. Pengalaman di atas bakal jadi pengalaman yang berharga untuk anak anak di pulau mansinam

    BalasHapus
  7. Keren lo kak Jody ini, benar-benar mau terjun langsung ke pelosok demi pendidikan Papua. Tak banyak anak muda yang mau meluangkan waktunya untuk mereka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sepertinya Kak Jordy ini sudah senang mengajar sejak lama sih kak

      Hapus
  8. nangisss kalo pernah keinget dulu temen kuliah ada yang dari Papua, dia dikasih beasiswa gratis dan pulang2 akan jadi PNS dan guru yang mengabdi di sana.. bener2 kalo dia cerita tuh perbandingannya seperti langit dan bumi kayak pendidikan di Jawa ya ngga sih :((

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba Jihan. Kadang aku jadi bersyukur tinggal di tempat dengan fasilitas bagus.

      Hapus
  9. Luar biasa sih ini semangat berbagi literasinya ya. Semangat Jordy dalam menebarkan literasi bagi anak-anak Mansinam harus ditularkan buat yang lain juga biar makin banyak nak papua yang terpapar literasi membac

    BalasHapus
  10. Keren ya. Ke Papua bukan untuk wisata tapi untuk ngajarin anak anak papua lebih melek literasi. Bukan cuman ngajarin baca, tapi praktek langsung buang sampah dan sebagainya. Salut dan pantas dapatin penghargaan satu Indonesia award pak

    BalasHapus
  11. Salut bgt msh ada generasi muda yang peduli thd pendidikan di wilayah terluar, terpencil dan tertinggal di negara kita. Kalo mengandalkan uluran pemerintah, bs lama tuh. Swasta kyk gini lah yg hrs bergerak biar pemerintah dan pemda setempat akan membantu setelahnya. Salut buat kakak2 yg udh membantu pendidikan di Pulau Marsinam ini.

    BalasHapus
  12. Miris ya baca data dari UNICEF. Beruntungnya Indonesia masih punya orang² yang peduli sama perkembangan pendidikan di Indonesia. Semoga makin banyak Jordy² di luar sana yg talk less do more lah buat anak² putus sekolah.

    BalasHapus
  13. Miris ya baca data dari UNICEF. Beruntungnya Indonesia masih punya orang² yang peduli sama perkembangan pendidikan di Indonesia. Semoga makin banyak Jordy² di luar sana yg talk less do more lah buat anak² putus sekolah.

    BalasHapus
  14. Salut yaa...
    Bagaimanapun, jika ingin memasuki sebuah wilayah, selain harus membiasakan diri dengan cepat melalui berbagai aktivitas dan komunikasi, juga adaptif dalam segala hal. Dan Jordy bersama Papua Future Project bisa melaluinya sehingga anak-anak di Pulau Mansinam bisa mendapatkan hak yang sama. Ilmu, belajar dan semoga bermanfaat untuk melindungi mereka dari segala bentuk penipuan dan kejahatan.

    BalasHapus
  15. Indonesia butuh lebih banyak sosok seperti kak Jordy karena sampai sekarang daerah2 pedalaman masih banyak yang belum terjamah fasilitas pendidikan.. dan kak Jody bisa jadi inspirasi anak muda yang mau terjun langsung ke pedalaman untuk mengabdikan diri disana

    BalasHapus
  16. Inspiratif banget ya kak Jordy. Semoga makin banyak anak muda yang punya semangat tinggi jayak kak Jordy apalagi mau terjun ke pedalaman Papua sana demi menyalurkan ilmunya di bidang pendidikan.

    BalasHapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam