Senin, 21 Agustus 2023

Wujudkan Sustainable Living bersama RGE melalui Penciptaan Fashion Ramah Lingkungan

Pameran produk fashion batik di JEC, Jogja (Dok.Pri)

Rosela : “Sis, brand ini ngeluarin produk blazer warna kuning lho, cakep. Cocok untuk kamu cewek kue. Ga mau beli?” 

Mawar : Wah, iyakah? Aku mau lihat dulu deh di websitenya. Kalau suka, aku mau capcuzz beli” 

Lavender : Lho, bukannya seminggu lalu kamu sudah beli blazer juga ya. Memang bakalan kepakai semua? 

Mawar : ya gapapa. Biar koleksiku tambah banyak donk. Bosen kalau pakainya itu-itu terus. Aku itu gak bisa tahan kalau lihat baju-baju lucu” 

Lavender : Sis, yakin kamu butuh? Tahu gak sih kalau hobby beli pakaian itu membuat lingkungan rusak dan perubahan iklim Lho? 

Mawar, Rosela : (Bersamaan) Hah, memang iya. Kok bisa begitu? 

*** 

Dunia fashion memang memiliki gemerlapnya sendiri. Apalagi sejak berkembangnya teknologi digital yang membuat produk bisa dipamerkan dan dipasarkan dengan mudah. Perputaran  tren menjadi hal yang tak bisa dihindari.  

Meski demikian, sisi lain tren ini ternyata berdampak buruk pada lingkungan. Industri fashion menyumbang kerusakan lingkungan dan 8-10% emisi GRK yang menciptakan monster mengerikan bernama perubahan iklim. 

Era kiwari, perubahan iklim telah menjadi bahasan penting bagi dunia. Perubahan iklim telah membawa dampak yang cukup mengerikan bagi kehidupan karena memunculkan bencana-bencana klimatologi seperti gelombang panas, kebakaran hutan, banjir rob, kekeringan hingga angin ribut.

Data bencana akibat perubahan iklim dari 1970-2021 (Sumber : Katadata)

Semua bencana itu merupakan dampak nyata dari perubahan iklim. Tingginya emisi gas rumah kaca di udara yang tidak terkontrol membuat temperatur udara mengalami kenaikan.  

Imbasnya, udara akan terasa lebih panas sehingga riskan memunculkan kekeringan dan kebakaran hutan. Bila sudah demikian, setiap makhluk hidup terancam hidupnya, entah hewan, tumbuhan maupun manusia. 

Salah satu contoh nyata bencana klimatologi, gelombang panas di Bangladesh yang mencapai suhu 51⁰ Celsius pada 17 April 2023 lalu. Gelombang panas tersebut membuat masyarakat terkena penyakit dan mengalami gagal panen. 

Bencana lainnya, terjadi kebakaran besar di wilayah Hawaii yang merusak 2700 bangunan dan menewaskan 111 orang. Kebakaran itu menjadi parah lantaran angin kencang yang membuat api meluas dan besar.

Dimungkinkan, bencana-bencana klimatologi itu akan terus meningkat seiring dengan  kenaikan emisi gas rumah kaca di udara yang menyebabkan global warming. 

Melihat berbagai bencana yang terjadi, banyak pihak mulai berupaya mencegah perubahan iklim dengan menekan laju emisi gas rumah kaca agar tak mencapai kenaikan 1,5 derajat Celsius. 

Upaya-upaya mengurangi emisi skala besar bahkan mulai digencarkan oleh negara dengan merumuskan kebijakan hijau, melakukan transisi energi hingga membumikan praktik-praktik sustainable living yang mengarahkan masyarakat agar lebih mempedulikan lingkungan.

Berbicara tentang emisi, tahukah kamu bahwa ternyata industri fashion menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 10 persen di dunia. Terutama untuk fast fashion yang disinyalir mengeluarkan 52 jenis setiap waktunya. 

Fast Fashion sendiri merupakan kondisi dalam industri fashion yang ditandai dengan perubahan tren secara cepat. Biasanya jenama-jenama terkenal akan membuat baju-baju terbaru mereka dalam kurun waktu yang dekat.  

Bagi kamu yang mengikuti perubahan mode dunia, kamu mungkin bisa menemukan jenama terkenal dari luar maupun dalam negeri yang kerap mengadakan fashion show dengan produk pakaian yang berbeda-beda.  

Perubahan tren pasar yang begitu cepat membuat para desainer pakaian selalu berkeinginan menampilkan produk baru agar tak ketinggalan. 

Well, ketika bicara produk fashion, kita tak hanya bicara konteks pakaiannya saja. Tetapi segala hal berkenaan dengannya mulai dari bahan, proses produksi, desain, pameran, tenaga kerja, hingga pengemasan. 

Di negara Eropa seperti Prancis atau Italia sana, fast fashion merupakan hal biasa. Tiap musim berganti, para desainer pakaian akan menciptakan desain baru dengan jumlah yang tak sedikit. 

Data pembelian pakaian di beberapa negara (Sumber : BBC)

Salah satu contoh, pencinta mode sedang menyukai tren blazer warna gelap maka tiap jenama akan berlomba memproduksi blazer dengan warna gelap, sesuai permintaan pasar. 

Imbasnya apa? Pakaian-pakaian yang sudah dirancang dan dibuat sebelumnya akan bertumpuk bahkan di buang ke tempat pembuangan akhir. Padahal, untuk membuat tiap pakaian dari hulu ke hilir bukanlah perkara sepele.  

Butuh proses panjang yang menyerap berbagai sumber daya mulai dari air, energi, tenaga kerja hingga minyak bumi. Berikut ini merupakan data taksiran untuk membuat kain dalam industri tekstil, 

  • kapas untuk industri fashion menggunakan sekitar 2,5% lahan pertanian dunia 
  • bahan sintetis seperti poliester membutuhkan sekitar 342 juta barel minyak setiap tahunnya 
  • proses produksi pakaian seperti sekarang membutuhkan 43 juta ton bahan kimia per tahun 
  • Produksi tekstil juga menghasilkan 42 juta ton sampah plastik setiap tahunnya, menjadikan industri tekstil sebagai sumber limbah industri terbesar kedua setelah pengemasan. 
  • Industri fashion menghasilkan emisi 10% untuk dunia 

Menukil informasi dari Kementerian Perindustrian RI yang dikutip dari CNN Indonesia, industri fashion merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar setelah semen dan logam baja.

Gambaran baju-baju yang terbuang dan menjadi limbah (Sumber : phys.org)

Dalam kacamata lainnya, industri fashion bertanggung jawab atas 1,2 miliar ton setara CO2 per tahun, lebih banyak emisi dibandingkan gabungan industri pelayaran dan penerbangan. 

Dan laporan tahun 2021 dari Forum Ekonomi Dunia mengidentifikasi fesyen dan rantai pasokannya sebagai pencemar terbesar ketiga di dunia (setelah pangan dan konstruksi).

Lantas, apa yang membuat industri fast fashion menghasilkan emisi gas rumah kaca dan berdampak pada pencemaran lingkungan?  

Perlu diketahui bahwa untuk melihat pengaruh industri fashion ini terhadap kerusakan lingkungan hingga penyebab perubahan iklim, kita perlu melihatnya dari proses awal hingga baju-baju itu masuk ke lemari kita. 

Fast fashion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan komoditas fashion yang cepat tersedia dengan harga murah pada masa sekarang ini. Bila umumnya desainer butuh waktu lama untuk membuat pakaian, dalam fast fashion pakaian dibuat secara cepat dengan jumlah yang melimpah.

Meski demikian, bila ditilik dari proses hulu ke hilir, ada proses panjang yang perlu kita pahami sebagai konsumen sehingga bisa lebih aware terhadap dampak yang disebabkan oleh industri fast fashion.

LISTRIK

Kawan, untuk membuat kain atau tekstil, sebuah pabrik akan memiliki mesin-mesin otomasi yang membutuhkan energi listrik yang tak sedikit. Beberapa mesin bahkan langsung menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.  

Di Indonesia, energi listrik yang memasok industri hingga rumah tangga masih ditopang oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yakni sebesar 66%. Berdasar data dari Kementerian SDM, hingga 20 April 2022 jumlah PLTU mencapai 253 bangunan. 

Pembangkit Listrik Tenaga Uap merupakan jenis pembangkit yang menggunakan “uap panas” untuk memutar turbin. Uap panas yang digunakan berasal dari proses penguapan air melalui mesin boiler.

Tahukah kamu bahwa PLTU menggunakan batu bara maupun minyak bumi sebagai bahan bakar. Tentu, dengan jumlah PLTU sebanyak itu akan membutuhkan pasokan batu bara yang tak sedikit. 

Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mengatakan bahwa PLTU Indonesia membutuhkan setidaknya 130 juta per tahun atau hampir 11 juta ton batu bara per bulan untuk menyediakan listrik.

Batu bara merupakan penghasil gas karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4). Kedua gas tersebut berkontribusi terhadap perubahan iklim karena sifatnya yang menahan panas di atmosfer.

Menurut data Global Energy Monitor, batu bara di Indonesia menghasilkan metana sebanyak 58 juta ton per tahun. Itu masih dalam bentuk tambang saja, belum dibakar untuk kebutuhan listrik maupun industri lainnya. 

Industri tekstil Indonesia menjadi penerima paling besar pasokan listrik yang mencapai 14% (2,8 GWh) yang kemudian diikuti oleh industri besi dan baja 10% (2,01 GWh) , industri kimia 8% (1,6 GWh) dan semen 7% (1,4 GWh) pada Maret 2022.

Dari data di atas, bisa kita simpulkan bahwa industri tekstil berkontribusi menghasilkan emisi GRK melalui penggunaan listrik---yang kita tahu memenfaatkan bahan bakar fosil berupa batu bara dan minyak bumi. 

SUMBER DAYA AIR

Dalam industri fesyen, air menjadi salah satu bahan yang diperlukan, terutama untuk proses pewarnaan dan pencucian. Menurut data dari UN Alliance for Sustainable Fashion menyebut industri fashion membutuhkan sekitar 215 triliun liter air per tahun. 

Selain menyerap air bersih untuk cuci dan warna, industri fashion juga berdampak besar pada 20 persen pencemaran limbah air secara global. Berikut ini merupakan gambaran volume air yang dibutuhkan untuk setiap proses membuat pakaian.

Persentase perbandingan penggunaan air pada dua jenis bahan (Sumber : textilelearner.net)

Tak heran, sungai-sungai yang berada di dekat industri tekstil seperti sarung, batik, hingga garmen terlihat keruh karena pencemaran air. Di Kota Pekalongan tempat saya tinggal, batik menjadi kriya utama masyarakat. Industri batik memang manis bagi ekonomi masyarakat namun pahit bagi lingkungan, terutama perairan.

Industri fast fashion juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap air. Air dalam jumlah besar dibutuhkan saat proses mewarnai hingga mencuci pakaian, terutama untuk kain dari bahan kapas atau kita biasa mengenalnya dengan katun.

BAHAN BAKU

Bahan pakaian yang umumnya digunakan dalam industri fast fashion adalah serat sintetis seperti poliester. Bahan-bahan ini menjadi sumber utama karena membutuhkan biaya yang murah untuk diproduksi. Jika dibandingkan, harga poliester hanya setengah dari harga kapas.

Poliester diproduksi dari polietilena tereftalat (PET), yaitu sejenis plastik yang berasal dari bahan bakar fosil. Poliester tidak dapat terurai secara hayati (non-biodegradable) dan melepaskan mikroplastik yang dapat merusak ekosistem.  

Bahkan dilansir dari laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2017, diperkirakan bahwa 35% mikroplastik di lautan berasal dari proses pencucian serat sintetis termasuk poliester. Mikroplastik ini dapat menyusup ke dalam rantai makanan sehingga dapat berbahaya bagi kesehatan.

TENAGA KERJA

Semenjak muncul tren fast fashion, lebih banyak desainer mengembangkan pakaian-pakaian secara cepat. Hal itu berefek pada meningkatnya perusahaan-perusahaan yang memproduksi kain sebelum dibuat pakaian jadi. 

Untuk memenuhi permintaan pasar yang begitu besar, dibutuhkan tenaga kerja yang tak sedikit. Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu sumber terbesar tenaga kerja murah bagi pabrik fast fashion, bersama dengan Bangladesh, Cina, Vietnam, dan Honduras.

***

Melalui uraian di atas, sudah tahu bukan bahwa proses membuat pakaian membutuhkan energi, sumber daya air, bahan baku dan tenaga manusia yang tak sedikit. Di setiap tahap pembuatan pakaian, selalu ada dampak lingkungannya, mulai dari mencari sumber, produksi, transportasi, penjualan, pemakaian dan pembuangan. 

Maka dari itu, membumikan fashion berkelanjutan merupakan kunci agar pakaian-pakaian yang telah dibuat bisa terpakai optimal, tak terbuang percuma di TPA serta berkontribusi pada kerusakan lingkungan.

"Sampai kapan kamu merasa tak puas terhadap pakaian-pakaian yang kamu simpan di lemari hingga terus membeli, terus membeli dan terus membeli tanpa peduli bahwa pakaianmu sudah bertumpuk dan tak terpakai. Akhirnya kamu bingung akan membuangnya kemana, bukan?"

***

Semenjak isu lingkungan dan perubahan iklim menjadi pembahasan secara global. Orang mulai memikirkan cara hidup yang lebih menghargai alam. Mau bagaimanapun, aspek lingkungan tak bisa dipisahkan dari perilaku manusia.  

Kaitannya dengan pakaian, sebagian masyarakat urban mulai sadar dan menerapkan praktik-praktik fesyen berkelanjutan atau sustainable fashion.

Ada dua pihak yang memiliki peranan kunci dalam membumikan praktik tersebut yakni produsen selaku pembuat pakaian dan konsumen sebagai penikmat fashion itu sendiri. 

Di ekonomi, ada hukum permintaan dan penawaran. Suatu produk dibuat berdasarkan permintaan pasar. Jika permintaan tinggi, maka otomatis produsen akan membuat lebih banyak barang. Produsen di sini bisa pabrik pembuat kain atau jenama fashion tertentu. 

Kaitannya dengan dunia mode, permintaan pakaian dari kalangan pecinta mode hingga selebritas dunia membuat para desainer gemar membuat fast fashion untuk memenuhi selera pasar. Tentu, produsen tekstil pun mendapatkan permintaan kain yang besar pula sehingga kapasitas produksi diperbesar. 

Melihat adanya hal tersebut, maka perubahan itu harus dimulai secara kolaboratif. Dari segi konsumen, pengendalian diri agar tak lapar mata serta gemar membuat produk tiap bulannya perlu menjadi poin utama supaya sustainable fashion bisa tercapai.

Potensi fashion ramah lingkungan sangat besar (Sumber :Aprayon)

Saat ini, sudah banyak bermunculan brand fashion yang menerapkan konsep sustainable dalam bisnis mereka. Dikutip dari Sustainable Brands, sebanyak 54% brand sustainable fashion merasakan peningkatan permintaan sejak pandemi dimulai. 

Sedangkan sebanyak 57% pembeli setuju untuk membuat perubahan signifikan melalui penerapan mode berkelanjutan untuk mengurangi dampak buruk lingkungan. Secara tak sadar, sebenarnya praktik sustainable fashion sudah mengemuka sejak lama. Coba deh perhatikan lirik lagu berikut ini, 

“Baju baru Alhamdulillah, tuk dipakai di Hari Raya. Tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama” 

Sepenggal lirik dari Dea Ananda tersebut memang terlihat biasa saja, tapi secara tidak langsung itu mengajarkan kepada kita bahwa baju lama pun masih bisa dimanfaatkan untuk merayakan lebaran. 

Ada berbagai cara yang bisa kita lakukan supaya produk-produk fashion yang sudah dibuat tidak mubazir dan berakhir sebagai limbah. Salah satu poin pentingnya adalah pengendalian diri. 

Sebagai konsumen bijak, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mendukung upaya fesyen berkelanjutan yakni, 

  1. Tidak mudah lapar mata pada produk baru
  2. Mulai bangun mindset peduli lingkungan
  3. Menggunakan pakaian lama hingga benar-benar rusak
  4. Beli produk pakaian pada jenama yang peduli lingkungan
  5. Melakukan donasi pakaian
  6. Merawat pakaian agar tahan lama dan bisa dipakai dalam jangka panjang
  7. Lakukan 3R (Reduse, Re-Use dan Re-Cycle) pada produk
  8. Memilih pakaian berbahan viscose yang bersifat Eco-Friendly dan Bio degradable

Meski terkesan sederhana dan kecil, tapi melalui upaya tersebut diharapkan mampu mengendalikan produksi Fast Fashion karena jumlah permintaan menurun. Bayangkan bila itu serempak dilakukan oleh banyak orang di dunia.

Well, bagaimana pun juga hukum ekonomi bahwa dimana ada permintaan disitu ada penawaran berlaku. Oleh karena itu, yang bisa mengurangi atau meningkatkan permintaan Fast Fashion ya konsumen itu sendiri.

Praktik-praktik Sustainable living tak akan bisa terlaksana tanpa kolaborasi dari banyak pihak. Sebab, itu bukan hanya tanggungjawab masyarakat sebagai konsumen atau pemerintah sebagai pembuat kebijakan tetapi juga industri sebagai produsen. 

Sebagai salah satu perusahaan manufaktur yang telah berdiri selama 56 tahun, Royal Golden Eagle berusaha sebaik mungkin mengikuti perkembangan zaman, termasuk menjalankan praktik hidup berkelanjutan melalui Sustainable Fashion dan Paper Upcycling.

Saat ini, perubahan iklim dan lingkungan menjadi isu paling krusial yang dibahas karena berkenaan dengan kehidupan manusia di masa depan. Tak heran, aspek-aspek penting yang berhubungan dengan pemulihan lingkungan juga diperhatikan oleh RGE.

Royal Golden Eagle telah mempekerjakan lebih dari 60.000 orang di seluruh dunia dan memiliki aset melebihi US$30 miliar. Grup bisnis ini telah menaungi beberapa bidang manufaktur sumber daya terbarukan dan industri energi yang efisien seperti :

  • Pulp and paper – APRIL and Asia Symbol
  • Palm oil/Biodiesel/Oleo chemicals – Asian Agri and Apical
  • Specialty cellulose – Bracell
  • Viscose fibre - Sateri
  • Energy/LNG/CCGT – Pacific Energy

Dalam mewujudkan sustainable fashion, perusahaan RGE melalui Sateri telah melakukan transformasi dan inovasi pada produk-produk tekstil sehingga lebih ramah lingkungan. Salah satunya dengan memakai bahan alam yang mudah terdegradasi seperti Viscose Fibre.

Viscose-rayon merupakan serat alami dan mudah terurai yang terdapat pada produk-produk sehari-hari seperti tekstil, tisu basah serta produk-produk perawatan diri. Keenam pabrik viscose di China memiliki kapasitas produksi tahunan sebesar 1.8 juta ton.

Sebagai pembuat serat viscose terbesar di dunia, Sateri berkomitmen pada prinsip-prinsip dasar pembangunan berkelanjutan. Praktik-praktik bisnis dijalankan dengan kepatuhan yang ketat terhadap kebijakan berkelanjutan, kebijakan pengadaan pulp, serta standar lingkungan dan sosial yang berlaku secara universal. 

Kelebihan bahan Viscose untuk membuat pakaian,

  • Kain ini bersifat seperti sutra yang halus dan nyaman saat dibuat pakaian
  • Simpel perawatannya dan tahan lama.
  • Bahan yang diciptakan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan karena berasal dari serat kayu
  • Bahan viscose mudah menyerap keringat
  • Harga terjangkau
Hingga saat ini, industri tekstil masih memegang peranan kunci dalam perekonomian Indonesia. Dengan demikian, RGE melalui Satori dan APR berusaha mendukung penyediaan bahan untuk pakaian yang lebih ramah lingkungan karena mudah terurai.

Beberapa sertifikasi terkait sustainability bahkan telah dikantongi oleh APR untuk meyakinkan konsumen bahwa produk yang dibuat berdasarkan aspek-aspek peduli terhadap keberlanjutan. Sertifikasi tersebut yakni,

OEKO-TEX Standard 100

Sertifikasi Oeko-Tex memastikan produk aman digunakan mulai dari bahan baku, proses hingga hasil akhir. Produk APR mendapatkan sertifikasi ini pada bulan Mei 2019.

USDA Certified Biobased

Sertifikasi ini menunjukkan bahwa produk terbuat dari sumber alami renewable dengan persentase sesuai dengan yang tertera pada label produk. Produk APR telah tersertifikasi sejak November 2019.

OEKO-TEX Made in Green

label untuk produk tekstil dan kulit yang diproduksi secara ramah lingkungan dengan kondisi kerja yang aman dan bertanggungjawab. Perusahaan APR telah menerima sertifikasi ini pada Maret 2020.

FKT Label

Sertifikasi ini diberikan untuk memastikan produk teruji klinis, tidak mengandung bahan yang menimbulkan iritasi pada kulit. Produk dari APR lolos sertifikasi ini pada Juni 2020.

Demikianlah beberapa cara yang RGE gaungkan dalam mewujudkan praktik sustainable living terutama untuk fashion berkelanjutan melalui penciptaan tekstil ramah lingkungan serta bersertifikasi. 

Selanjutnya, RGE mungkin saja bakal melakukan transisi energi pada tiap mesin, agar emisi GRK yang terbuang bisa dikendalikan. Dengan demikian, perusahaan ini turut mewujudkan tercapainya Net Zero Emmision pada tahun 2060. 

Referensi : 

  • https://zonautara.com/2021/11/16/tahukah-anda-bahwa-fashion-berkontribusi-pada-10-persen-emisi-karbon-di-dunia/
  • https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/06/12/fast-fashion-perubahan-iklim
  • https://www.bbc.com/news/science-environment-60382624
  • https://waste4change.com/blog/brand-tekstil-sustainable-di-indonesia/
  • https://www.idntimes.com/life/education/ema-endrawati/istilah-tren-sustainable-fashion-fashionista-wajib-tahuc1c2?page=all
  • https://envihsa.fkm.ui.ac.id/2022/03/25/fast-fashion-tren-mode-yang-menjadi-bumerang-terhadap-lingkungan/
  • https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/fesyen-cepat-fast-fashion/
  • https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/04/bencana-alam-terkait-perubahan-iklim-meningkat-di-skala-global
  • https://kbr.id/saga/10-2020/melambat_bersama_slow_fashion___/103765.html
  • https://katadata.co.id/yuliawati/berita/61dbda3b21dab/kebutuhan-batu-bara-untuk-pltu-terus-naik-capai-130-juta-per-tahun#:~:text=Kebutuhan%20batu%20bara%20untuk%20pembangkit,20%20HOP%20(hari%20operasi).
  • https://www.commonobjective.co/article/the-issues-water

2 komentar:

  1. Ngeri yaaa, dan ini juga salah satu alasan aku udh jarang beli baju mba, sebelum baju lama rusak, atau setidaknya udh jelek lah. Tiap beli baju baru, itu pastinya aku harus ngeluarin sebanyak baju yg aku beli. Jadi ga Menuhin lemari juga.

    Awalnya sih Krn serem Ama hisab pas hari akhir 😅. Tapi sekarang ditambah juga Ama perubahan iklim ini.

    Ga kebayang kalo Indonesia sampe kena panas 51 dercel. Panas 32 aja bikin aku sakit demam 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba Fanny, bener banget. Kalau aku juga pakai baju pasti sampai belel dulu biar gak banyak baju yg dibeli. Kadang baju ampe bolong2 tep dipakai wkwkwk

      Hapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam