Kamis, 27 Oktober 2022

Bagaimana Pendidikan Ideal untuk Anak dengan Disabilitas dan Kusta di Indonesia?

"Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus"

Pendidikan merupakan proses penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, ilmu-ilmu yang semula tak diketahui mampu dikuasai dengan baik.

Di Indonesia, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak agar mereka bisa mengampu kehidupan melalui ketrampilan dan pengetahuan yang ditransfer melalui sekolah.  

Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dengan adanya aturan itu, maka bisa dipastikan bahwa tak ada pengecualian dalam memperoleh pendidikan bagi anak di Indonesia, termasuk anak penyandang disabilitas. 

Bagaimana Kondisi Disabilitas di Indonesia? 

Di Indonesia, warga negara yang hidup bukan hanya orang-orang seperti kita yang memiliki kesempurnaan secara fisik dan mental. Namun ada juga orang yang memiliki kebutuhan khusus yang biasa disebut sebagai penyandang disabilitas.  

Bagi yang belum tahu, Penyandang disabilitas merupakan orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.  

Disabilitas sendiri terbagi menjadi 3 jenis, 

Disabilitas fisik 

Disabilitas fisik adalah ketidaksempurnaan yang terjadi secara fisik pada anggota tubuh seperti gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara.  

Disabilitas fisik antara lain: 

a) cacat kaki, 

b) cacat punggung,

c) cacat tangan, 

d) cacat jari, 

e) cacat leher, 

f) cacat netra, 

g) cacat rungu, 

h) cacat wicara, 

i) cacat raba (rasa), 

j) cacat pembawaan. 

Disabilitas fisik ini, selain bisa bawaan sejak lahir, bisa juga tidak misalnya seperti kecelakaan hingga terkena penyakit kusta. Berdasar data WHO, Indonesia menduduki peringkat 3 sebagai negara yang memiliki penyandang kusta baru. Jumlahnya bekisar 8% dari kasus di dunia. 

Sebanyak 9061 kasus baru ditemukan keberadaan per Januari 2021. Sedihnya, kasus baru juga ditemukan pada anak-anak dengan persentase sebesar 9,14%. Padahal, target pemerintah adalah berada di bawah 5%. Tentu, angka penyandang kusta ini juga sejalan dengan kemungkinan bertambahnya angka penyandang disabilitas fisik. 

Disabilitas mental 

Disabilitas mental adalah kelainan pada mental dan atau tingkah laku, entah berupa ketidaksempurnaan bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain: a) retardasi mental, b) gangguan psikiatrik fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental organik dan epilepsi. 

Disabilitas ganda (fisik dan mental) 

Disabilitas mental atau kelainan mental terdiri dari: 

  • Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.  
  • Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus. 
  • Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar yang diperoleh. 

Di Indonesia ada sekitar 22,5 juta masyarakat yang mengalami disabilitas baik fisik, mental maupun ganda dimana sebanyak 5,2 juta merupakan anak-anak. Yang membuat miris, ada 13,5% anak belum pernah mengenyam bangku sekolah dan 9,58% tidak lagi bersekolah (hasil Survei Sosial Ekonomi Kemenpppa). 

Beberapa alasan yang melatarbelakangi anak-anak difabel tak mampu mendapatkan pendidikan secara layak yakni karena keterbatasan informasi dan finansial, fasilitas yang minim serta berada di wilayah pedalaman.  

Mudahnya seperti ini, bagi orang dengan dana cukup serta tinggal di wilayah perkotaan akan dengan mudah menemukan SLB (sekolah khusus untuk anak berkebutuhan), namun yang berada di wilayah terpencil, tentu SLB bukanlah jawaban untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus karena  sebagian besar di sana hanya ada sekolah reguler baik swasta maupun negeri. 

Pendidikan Ideal bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Seperti apa?

Pendidikan ideal adalah pendidikan yang mampu membuat anak bahagia dan bersemangat untuk bersekolah. Dengan kata lain, tersedianya fasilitas lengkap serta memiliki metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa, menjadi poin utamanya. 

Sayangnya, saat ini masih banyak sekolah yang belum sepenuhnya memberikan hak pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus atau ABK, terutama sekolah-sekolah negeri. Semuanya terjadi karena berbagai faktor. 

Lho, kalau anak berkebutuhan khusus kan ada sekolahnya tersendiri Ra? 

Memang benar, bagi anak disabilitas atau ABK, disediakan sekolah khusus bernama Sekolah Luar Biasa (SLB). Hanya saja, tak semua wilayah memiliki SLB. Jika sudah begini, anak-anak berkebutuhan khusus (termasuk penyandang kusta) tak memiliki akses pendidikan kecuali melalui sekolah negeri atau swasta.  

Pertanyaannya, apakah sekolah reguler baik swasta maupun negeri menerima siswa dengan kebutuhan khusus? 

Pada 21 Oktober 2022 lalu, melalui Talkshow Ruang Publik KBR bertajuk “Pendidikan bagi Anak dengan Disabilitas dan Kusta” dibahas informasi berkaitan dengan solusi pendidikan bagi anak difabel dan tantangan-tantangannya.

Talkshow tersebut menghadirkan narasumber diantaranya,

  1. Bapak Anselmus Gabies Kartono (Yayasan Kita Juga/Sankita),
  2. Bapak Fransiskus Borgias Patut (Kepala Sekolah SDN Rangga Watu Manggarai) 
  3. Adik Ignas Carly (Siswa kelas 5 SDN Rangga Watu yang merupakan penyandang disabilitas). 

Bapak Fransiskus menjelaskan bahwa sekolah yang ia pimpin merupakan sekolah reguler yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini karena SLB di wilayah Manggarai Barat sangatlah terbatas. Padahal, di daerah tersebut banyak anak-anak difabel yang notabene memerlukan pendidikan. 

Melihat masalah tersebut membuat SD Negeri Rangga Watu menjadi sekolah inklusif dengan memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak berkebutuhan khusus sejak tahun 2017 yakni ketika dikeluarkan SK Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. 

Menjadikan SD reguler menjadi sekolah inklusif tentu memiliki tantangan yang tak mudah. Menurut Pak Frans, jumlah tenaga pengajar, fasilitas serta diskriminasi masih menjadi momok nyata para siswa berkebutuhan khusus.  

“Di sekolah reguler banyak sekali kendala di pengajarnya atau pembimbing khusus untuk menangani anak-anak yang berkebutuhan. Sebab, mereka harus ditangani secara khusus, apalagi di sekolah negeri basiknya guru umum sedangkan siswa ABK harus ditangani khusus” (Pak Frans-Guru SDN Rangga Watu) 

Ignas Charly, salah satu siswa berkebutuhan khusus yang bersekolah di SD Negeri Rangga Watu menceritakan bahwa di sekolah, ia masih mendapatkan perlakuan tak mengenakkan dari teman-temannya. Meski demikian, ia tetap bersemangat untuk menempuh pendidikan dengan mengabaikan bully-an dari teman-temannya. 

Anak-anak berkebutuhan khusus seperti Ignas di Indonesia memiliki jumlah yang tak sedikit yakni sekitar 5,2 juta. Namun begitu, jumlah tersebut berbanding terbalik dengan jumlah SLB maupun sekolah reguler yang mau menerima anak-anak difabel. 

Tak heran, kemungkinan besar anak-anak difabel tak pernah mengenyam bangku sekolah atau putus di tengah jalan. Mereka memilih untuk tak melanjutkan pendidikan karena malu dan terintimidasi dengan keadaan.  

Melihat problematika yang terjadi pada pendidikan Anak dengan disabilitas dan kusta, harapannya ada kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas pendidikan, para guru, orang tua hingga masyarakat umum untuk membuka ruang bagi anak berkebutuhan khusus melalui sekolah reguler melalui pendidikan inklusif.  

Bicara mengenai pendidikan inklusif, Anselmus Gabies Kartono dari Yayasan Kita Juga (Sankita) merupakan salah satu pihak yang gencar menyosialisasikannya pada guru, para murid hingga orang tua. Ansel mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang belum tahu mengenai anak-anak berkebutuhan khusus. 

Pada akhirnya, Ansel membuat sebuah program pelatihan bagi guru dan orang tua untuk memperkaya pengetahuan mengenai pendidikan inklusif dan cara-cara terbaik menghadapi para siswa berkebutuhan khusus. 

Kesimpulan 

Pendidikan merupakan hak setiap warga negara termasuk untuk anak-anak berkebutuhan khusus (difabel). Ada berbagai jenis disabilitas, termasuk yang disebabkan oleh penyakit kusta dengan persentase sebesar 9,14%. 

Sumber gambar : Pixabay/Elf-Moondance

Adanya pendidikan inklusif pada sekolah reguler menjadi solusi terbaik agar anak berkebutuhan khusus yang tidak terjangkau SLB, bisa mendapatkan pendidikan secara layak. Dengan demikian, tak ada lagi anak putus sekolah atau tak bersekolah karena kendala disabilitas. Semoga bisa tercapai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam