Rabu, 14 April 2021

Dari Sudut Po An Thian, Semburat Kisah Toleransi Hidup dan Mekar

Tahun 2021 ini memang berbeda. Tak ada perayaan apa pun di Kota Pekalongan layaknya tahun-tahun sebelumnya. Padahal biasanya, berbagai Kirab Budaya hingga keagamaan tak pernah absen memecah kesunyian Kota Batik ini.

Salah satunya, Kirab Ritual dan Budaya untuk menyambut Imlek dan Cap Go Meh. Acara yang tak hanya diramaikan oleh segelintir orang saja, namun juga masyarakat seantero kota. Baiklah, inilah dia seberkas kisah saya mengenai Pekalongan yang penduduknya menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.

*** 

Kala itu, 7 Februari 2020, ada yang nampak berbeda di Kota Pekalongan. Puluhan orang terlihat berjalan mengular menuju satu lokasi. Jalan Belimbing. Berbagai spanduk, aksesoris bernuansa merah dan lampion-lampion cantik telah terpasang dengan megahnya di sepanjang 1 kilometer menuju Jalan tersebut.

Bersamaan dengan keramaian itu, dari sebelah utara, mendung terlihat cukup pekat. Sebagian orang terlihat telah siap dengan payung di tangan namun beberapa lainnya masa bodoh dengan hujan yang kemungkinan akan mengguyur. Toh jika hujan, masih banyak tempat untuk berteduh di sepanjang sisi jalanan.

Atraksi Naga Hijau sebagai pembuka acara KIrab Ritual dan Budaya Imlek 2020 (Dokumentasi.Pribadi)

Diantara riuh rendah masyarakat yang tengah berkumpul, seorang bocah berkerudung biru terlihat sangat antusias. Wajahnya sumringah memancarkan kebahagiaan khas anak kecil ketika diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Sesekali, si bocah bergelayut manja di samping bapaknya sembari makan kembang gula di tangan. Dia dan semua orang tengah menanti dimulainya acara Kirab pukul 13.00 Wib. Entah akan tepat waktu atau mundur tergantung kedatangan para tamu undangan.

Seorang anak perempuan yang begitu antusias melihat Kirab Budaya sehingga naik ke bahu ayahnya (Dokumentasi Pribadi)

Ketika acara dimulai—yang ditandai dengan arahan panitia dari speaker—setiap orang mulai menepi, termasuk si bocah dan bapaknya. Tak lama kemudian, alunan musik rancak  dari Kenong dan Gong khas perayaan Imlek menggema. Seekor naga berwarna hijau muncul dari sudut Po Ang Thian dan berputar-putar di tengah jalan Belimbing.  

Demi bisa menyaksikan atraksi naga hijau bersama, si bapak mengangkat putrinya ke atas bahu sehingga pandangan bocah tersebut tidak terhalangi oleh ribuan masa yang hadir. Ketika naga hijau itu berputar-putar dibarengi musik khas Imlek, si Bapak bergoyang-goyang tanda menikmati atraksi di depannya.

Sesaat setelah naga selesai beratraksi, beberapa joli (tandu) yang berisi dewa-dewi mulai disiapkan untuk diarak dari Jalan Belimbing menuju Jalan Protokol hingga finish ke Jalan Belimbing lagi. Orang-orang mulai bertepuk tangan menyaksikan Kirab Ritual dan Budaya Imlek 2020.

Salah satu Joli (tandu) yang akan akan diarak bersama-sama (Dokumentasi Pribadi)

Arak-arakan yang disaksikan oleh masyarakat Pekalongan di sepanjang Jalan Belimbing hingga Protokol (Dinkominfo)

Jika tak ada halangan, kirab budaya ini rutin diadakan setiap tahun untuk menyambut Cap Go Meh yakni akhir dari rangkaian perayaan tahun baru Imlek yang dilakukan tiap tanggal 15 pada bulan pertama penanggalan Tionghoa.  Nah, pada tahun 2020 lalu, perayaan Cap Go Meh  dilakukan 14 hari setelah Imlek.

Bukan berkah Imlek namanya kalau tidak turun hujan. Ya, masyarakat tionghoa percaya bahwa hujan merupakan pertanda rezeki yang harus disyukuri. Meski sempat diguyur hujan sekira 30 menit, Kota Pekalongan pecah kala itu.

Bahagia dan suka cita menyebar bukan hanya untuk masyarakat tionghoa saja sebagai pemilik gawe (pemilik acara), tapi juga masyarakat umum yang menyaksikan Kirab Cap Go Meh 2020.

Meski suasana hujan, tak menghalangi kegiatan dan antusias masyarakat untuk menyaksikan Kirab (Dokumentasi Pribadi)

Kirab Cap Go Meh 2020 menampilkan Marching Band SMK SUPM Nusantara Batang, Kesenian Rampak, FKUB Pekalongan, Sasana Barongsai dan Liong Pekalongan, serta Toa Kok Tui (grup musik tradisional) Klenteng Po An Thian Pekalongan.

Letak Klenteng Po An Thian bersebelahan dengan
Gereja Santo Petrus di Pekalongan (Dokumentasi Pribadi)

Penampilan Marching Band SMK SUPM Nusantara Batang (Dokumentasi Pribadi)

Penampilan Kesenian Rampak yang berasal dari Jawa Barat (Dokumentasi Pribadi)
Permainan angklung yang begitu semarak dari grup kesenian Rampak (Dok.Pri)

Tak ada limitasi siapa saja yang bisa hadir, tak ada ekslusivitas hanya untuk orang tertentu saja. Semua membaur menjadi aset keberagaman di Kota yang terkenal dengan julukan Kota Santri ini. Ya, bagi masyarakat Pekalongan, keberagaman etnis, budaya dan agama adalah kekayaan. Ketiganya telah hidup dan mekar dalam kurun waktu yang lama. 

Berbicara tentang keberagaman, ya, Pekalongan memang sangat menjunjung tinggi toleransi. Pada beberapa kesempatan, kegiatan kebinekaan layaknya silaturahmi antar tokoh lintas agama dan budaya rutin dilaksanakan untuk mempererat tali persaudaraan.  

Seperti kegiatan pada 8 Juni 2020 lalu misalnya, beberapa tokoh masyarakat hadir di Hall Wisma Liong Hong—bersebelahan dengan Klenteng Po An Thian—untuk menjalin silaturahmi dengan melangitkan toleransi.

Hadir Walikota Pekalongan, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Maulana Habib Luthfi Bin Yahya, Ketua DPRD Kota Pekalongan, serta anggota FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Pekalongan.

Silaturahmi lintas agama yang bertempat di Wisma Liong Hong yang bersebelahan dengan Po An Thian
(Facebook Po An Thian)

Penyerahan bendera sebagai simbol persaudaraan (sumber gambar : Tim Dokumentasi Protokol dan komunikasi Pimpinan Kota Pekalongan)

Po An Thian merupakan salah satu klenteng yang memegang peranan kunci dalam mengenalkan berbagai tradisi masyarakat tionghoa di Kota Pekalongan. Namanya sendiri diambil dari bahasa Hokkian yang berarti Istana Mustika Keselamatan. Melalui nama tersebut, Po An Thian diharapkan menjadi tempat ibadah yang mampu memberi keselamatan dan perlindungan bagi umatnya. 

Berdasarkan referensi yang dinukil dari beragam sumber, Klenteng Po An Thian telah berdiri sejak tahun 1882. Ia menjadi tempat ibadah Tri Dharma (tiga ajaran) atau masyarakat penganut Budha, Konghucu dan Tao. Bila dilihat melalui kurun waktu hingga saat ini, Po An Thian telah berusia 139 tahun. Tak heran bila ia menjadi salah satu bangunan bersejarah di Kota Pekalongan.

Saya lahir dan dibesarkan di Pekalongan. Selama tinggal di kota ini, pengalaman berbaur dengan berbagai kalangan telah menjadi makanan sehari-hari. Pekalongan merupakan kota multikultural yang penduduknya terdiri dari beragam etnis dan agama. Tak heran, kegiatan perayaan keagamaan hingga budaya selalu bisa ditemukan di dalamnya. 

Nah, berbicara mengenai perayaan yang beragam, tentu berkaitan erat dengan budaya toleransi. Di sini toleransi, sangat dijunjung tinggi pada setiap perbedaan yang dimiliki masyarakat.

Bapak Walikota Pekalongan kala itu yang diwawancarai para wartawan terkait
kegiatan Kirab (Dok.Pri)

Bahkan, Bapak HM Saelany Machfudz yang waktu itu menjabat sebagai walikota mengungkapkan dengan tegas bahwasanya kegiatan semacam Kirab Budaya ini menjadi bukti bahwa keberagaman di Kota Pekalongan bisa hidup beradampingan dan tumbuh subur. 

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada perayaan Imlek 2571 Kongzili / 4718 Huangli (7 Februari 2020), saya bersama adik mencoba menyaksikan kemeriahan Festival Seni Budaya dan Kuliner Indonesia serta Kirab Budaya Imlek sebagai puncak perayaan Cap Go Meh 2020. 

Satu hari sebelum Kirab Budaya Imlek dilaksanakan, saya dan adik bergegas menuju Jalan Belimbing untuk menyaksikan berbagai seni dan menikmati sajian kuliner yang ditawarkan. Di jalan tersebut, kami berhenti di sudut Po An Thian. Disana tersedia hiasan lampion-lampion cantik yang begitu instagamable. Tentu saya tak mau melewatkan untuk berfoto di bawahnya.

Saya dan adik yang kala itu berkunjung ke Festival Seni dan Kuliner
di area jalan Belimbing (Dok.Pri)
Salah satu grup musik yang memeriahkan Festival Seni dan Kuliner 2020 lalu (Dok.Pri)

Yang menarik, para hadirin yang datang bukan hanya berasal dari etnis Tionghoa saja, tetapi juga masyarakat umum berbagai kalangan. Mereka berfoto sambil sesekali melihat pertunjukkan barongsai yang diiringi alunan merdu dari grup musik tradisional Toa Kok Tui. Uniknya, beberapa kali, grup musik Toa Kok Tui melantunkan musik sholawat yang biasa diperdengarkan saat perayaan Maulud Nabi.

Masyarakat umum yang penasaran dengan klenteng Po An Thian dan dipersilahkan untuk masuk oleh pengurus (Dokumentasi Pribadi)

Hari itu, tatkala saya dan adik mendekat ke Klenteng Po An Thian untuk mengambil gambar, salah satu pengurus klenteng tersenyum ramah kepada kami. Beliau menyambut kami dengan terbuka, bahkan menceritakan berbagai kisah terkait bangunan klenteng bersejarah tersebut secara singkat. 

Awalnya, saya kira kami tak boleh masuk, namun ternyata saya salah. Bapak pengurus klentheng Po An Thian mempersilahkan siapapun yang mau berkunjung untuk melihat arsiteksur serta kemegahan bangunan yang konon telah dibangun sejak tahun 1882.

Anak-anak yang berfoto di dalam Klenteng Po An Thian (Dokumentasi Pribadi)
Dekorasi yang bisa ditemukan di dalam klenteng (Dok.Pri)
Ornamen yang ada di dalam klenteng, bentuknya sangat cantik (Dokumentasi Pribadi)

Beliau hanya berpesan agar semua orang yang hadir menjaga kebersihan, tak menyentuh dupa maupun sesajian, turut menjaga perlengkapan, serta berhati-hati tatkala berjalan diantara lilin yang menyala. 

Melihat keramahan serta keterbukaan para pengurus Klenteng Po An Thian kepada semua orang yang hadir, saya benar-benar melihat keindahan toleransi yang begitu besar. Tak ada ekslusivitas maupun limitasi yang membatasi mereka untuk saling berinteraksi.

Di belakang saya merupakan klenteng dimana beberapa orang
terlihat telah selesai melakukan sembahyang (Dok.Pri)

Masyarakat sangat antusias dan terbuka saat berbagai perayaan keagamaan dan budaya dilakukan di Kota Pekalongan. Bahkan, tak jarang para pemuda-pemudi lintas agama turut menjaga ketertiban dan keamanan ketika umat beragama lain beribadah. Sungguh, ini merupakan sebentuk penghargaan terhadap perbedaan di Kota Santri ini. Saya sendiri telah merasakannya. 

*** 

Terkait toleransi terhadap perbedaan yang ada di Indonesia. Mari saya ajak untuk membayangkan. Suatu hari, kamu membeli sebuah rumah dengan halaman yang sangat luas. Di halaman rumah tersebut, tersedia beragam tanaman mulai dari sayuran, berbagai jenis buah-buahan hingga bunga dengan warna yang berbeda-beda. 

Perbedaan jenis tanaman itu kemudian membuat halaman rumah yang kamu jejaki menjadi lebih hidup, cantik dan beraneka ragam. Melihat keindahan itu, duniamu mulai bersemi, memekarkan semangat baru untuk kehidupan yang lebih damai dan harmonis. Anggap bahwa halaman rumah itu adalah bumi. Tuhan menciptakan keberagaman di bumi untuk tujuan sama, agar hidup tak monoton dan bisa saling melengkapi.

Di Pekalongan, letak Masjid, Gereja Katolik, Gereja Protestan dan
 Klenteng saling berdekatan. Ini menjadi salah satu bukti toleransi terhadap keberagaman (Dokumentasi Pribadi)

Bila perbedaan itu hidup beriringan secara harmonis. Tercipta interaksi sosial yang dinamis, hangat dan minim konflik. Indonesia merupakan negeri yang memiliki keragaman etnis, bahasa, budaya hingga agama dari Sabang hingga Merauke. Tentu saja, itu merupakan aset penting untuk kemajuan, asal dikelola dengan semangat toleransi.

Penghargaan atas keberagaman yang terjadi di sudut Po An Thian adalah satu dari beribu kisah yang terjadi di Indonesia, tepatnya di Kota saya tercinta, Pekalongan. Melalui toleransi yang kuat, saya bersyukur, kota Pekalongan tak pernah mengalami konflik-konflik tertentu yang menimbulkan perpecahan.

Saya rasa, hal seperti inilah yang perlu kita lestarikan secara menyeluruh agar Indonesia menjadi negeri damai, kuat serta makmur dengan segala perbedaan di dalamnya. Dengan demikian, aset keberagaman akan terus hidup dan mekar.

#IndonesiaBaik 

#Toleransi 

#IndahnyaKeberagaman 

#Traveling 

#LombaIndonesiaBaikKBR

Referensi : 

  • Foto-foto merupakan milik pribadi dan diambil dari beberapa sumber.
  • Facebook  dan Instagram Klenteng Po An Thian 
  • https://www.radarnews1.com/kirab-ritual-dan-budaya-lmlek-klenteng-po-an-thian-wujud-akulturasi-budaya-di-kota-pekalongan/
  • https://protokol.pekalongankota.go.id/berita/klenteng-po-an-thian-gelar-kirab-ritual-dan-budaya-lmlek-2020.html
  • https://www.pekalongan-news.com/2014/12/toa-kok-tui-musik-pembauran-yang-kian.html
  • https://www.tionghoa.info/macam-macam-persembahan-dalam-kelenteng/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam