Laman

Kamis, 27 Mei 2021

Pasar Malam dan Nostalgia Masa Kecil

Pasar Malam dan Nostalgia Masa KecilPasar malam atau kalau di Pekalongan disebut sebagai Obrek-obrek merupakan keramaian yang kerap kali diselenggarakan untuk menghibur masyarakat di berbagai kota. 

Selain menyoal harganya yang murah, Pasar Malam juga menawarkan hiburan pencuci mata bagi manusia-manusia yang butuh refreshing, seperti aku misalnya.

Selama 1 tahun belakangan, aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, berkutat dengan laptop atau mengerjakan kegiatan rumah tangga (meski belum berumah tangga), eh.

Kadangkala muncul keinginan untuk traveling, entah dalam kota maupun ke luar kota. Namun, pandemi Korona menjegal semua keinginan itu. Its okay, demi kesehatan, aku menerimanya. 

Beberapa hari lalu, di Pekalongan, ada Pasar malam yang terselenggara di Stadion Hoegeng, bertepatan dengan aktivitas pasar kaget. Sambil menyelam minum air. Itu sih yang aku pikirkan. Sembari mencari keperluan rumah di Pasar kaget, kenapa gak sekalian mampir ke Pasar malam, deket juga lokasinya. 

Fix, akhirnya aku dan adik memutuskan berjalan kaki menuju ke pasar malam. Ketika kami memasuki area, di sana tak terlalu banyak orang. Mungkin hanya ada 50-an, itupun jaraknya berjauhan. Padahal, biasanya agenda semacam ini bakal dipenuhi lautan manusia.


Pasar malam menjadi ajang refreshing bagiku karena warna-warni lampu yang begitu menarik perhatian. Aku jadi ingat masa-masa kecil dulu ketika Pasar Malam menjadi satu hiburan mengasyikan seakan berada di Dufan. Bedanya nih, Pasar Malam merupakan versi lite dari Dufan, hehe
Bernostalgia kembali ke 15 tahun silam,
 bisa pergi ke pasar malam bersama Bapak dan ibu itu sungguh kesempatan luar biasa. Dulu, orang tua hanya memiliki 2 anak, aku dan Mbak, sehingga pergi ke mana-mana masih terlalu mudah. 

Di Pasar Malam, biasanya aku dibelikan Bapak kembang gula yang kala itu berharga Rp 250,- Gila sih, sekarang udah berapa ya harganya, Rp 20.000 kalau gak salah? Ternyata sudah naik berkali lipat ya. Sungguh waktu berlalu begitu cepat.
Kembali ke cerita Pasar malam. Kalau kamu berkunjung di dalamnya. Kamu biasanya naik wahana apa? Kalau di Pekalongan, ada wahana namanya Kincir angin (Bianglala), Ombak Banyu, Komedi Putar, dan Kora-kora.

By the way, karena aku dan adik-adikku tipikal orang yang gampang mual kalau naik Kora-kora, Komedi Putar, atau Ombak banyu, ketika aku ke Pasar Malam, aku cuma mencoba wahana Bianglala.
Lumayan, harga satu tiket per-wahana adalah Rp 10.000,-. Naik Bianglala sebenarnya tetap merasa pusing, namun tak separah naik Ombak banyu atau Kora-kora. Kalau naik kedua itu, yuhuuu, jangan ditanya deh. Mungkin pulang ke rumah aku bakal kayak orang mabok jalannya. Kelimpungan kesana kemari wkwkwk

Pasar Malam di tengah Korona


Sebenarnya Pasar malam yang diadakan di Stadion Hoegeng tersebut memang masih abu-abu. Artinya, aku belum tahu perizinannya seperti apa. Soalnya, kita tahu bahwa Korona masih ada dan kerumunan semacam itu berpotensi menularkan. 

Jujur, ketika aku datang, memang suasana di sana tak terlalu ramai. Ya, bisa dikatakan ada perintah atur jarak dan pemeriksaan suhu, air cuci plus sabun juga diletakkan dimana-mana plus kewajiban memakai masker. Mungkin karena itulah, akhirnya diperbolehkan. Toh, dengan adanya Pasar Malam, masyarakat jadi bisa nambah rezeki, asal mematuhi protokol kesehatan. 
Setuju tidak setuju, ada kelebihan dan kekurangan diadakan kegiatan semacam ini. Kelebihannya, masyarakat memiliki hiburan untuk refreshing dari kepenatan mereka, namun kekurangannya pada risiko tertular Korona. Mau tak mau, harus ada ketegasan menyoal proses bagi pengunjung. 

Oh iya, dengar-dengar, di malam sebelumnya, Pasar Malam ini sempat dibubarkan karena jumlah pengunjungnya yang membludak. Wajar sih bila ia dibubarkan. Jumlah pengunjung sudah overload sehingga potensi penularan Korona menjadi besar. 

Pasar Malam dan Harapanku


Pasar malam telah menjadi bagian dari hidupku. Banyak kenangan masa kecil yang terbangun melaluinya. Yap, Bianglala merupakan permainan yang paling membekas bagiku karena murah dan tidak terlalu membuat pusing. Well, memori itu terjadi jauh sebelum keluargaku pindah ke tempat tinggal saat ini. 

Harapanku, pandemi segera teratasi sehingga semua aktivitas masyarakat tidak ada pelarangan lagi. Kasihan juga ngelihat sumber nafkah yang dibatasi karena melawan risiko penularan virus COVID-19. Selain itu, banyak orang tak bisa bekerja serta traveling ke tempat lain akibat virus ini. Itu cukup menyebalkan sih. 

Pengennya, even-even tahunan semacam Java Balon Festival atau Syawalan seminggu segera ada ketika suasana kondusif. Beneran, rasanya sudah kangen potret memotret kegiatan semacam itu dan memasukkan ceritanya di blog atau instagram. Kamu juga gitu gak? 

2 komentar:

  1. wah alhamdulillah pasar malam masih terus ada meskipun ada pandemi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Bang, ini pasar malam ada tetapi tetap harus mengikuti protokol kesehatan :)

      Hapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam