Laman

Rabu, 15 Oktober 2025

Alfira Oktaviani : Bicara Tentang Seni, Budaya dan Harapan mengenai Fesyen Berkelanjutan

Alfira Oktaviani pendiri Semilir Ecoprint (dok.instagram semilir Ecoprint)

“Seni bukan hanya tentang membuat karya, tetapi juga merawat dan siap mewariskan ke anak cucu melalui cara-cara yang berkelanjutan” 

Nekat, peduli dan pantang menyerah. Barangkali, tiga sikap itulah yang harus disematkan pada Alfira Oktaviani. Bagaimana tidak? Melalui modal yang terbatas yakni Rp 500.000, perempuan berdarah Bengkulu ini berhasil mengembangkan produk fashion berkelanjutan dan ramah lingkungan. Semilir Ecoprint. 

Ada gurat keresahan tersemat di wajah Alfira kala itu. Berita-berita mengenai fast fashion yang berdampak pada kerusakan lingkungan kerap memunculkan rasa khawatir. Melalui fast fashion, industri mode membuat percepatan produksi pakaian dengan jumlah fantastis. 

Memang, industri fashion memiliki peranan penting bagi dunia karena pakaian merupakan kebutuhan primer. Permasalahannya, produksi fesyen-fesyen tersebut juga berkontribusi pada perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Menurut Businer Insider yang dikutip dari Earth.org, fast fashion menyumbang 10% emisi karbon global, merusak dan menyerap sumber air serta menimbulkan limbah bagi bumi. 

Terdapat 3 tahap utama pemicu polusi global dari industri fesyen berdasar laporan Quantis Internasional yakni tahap pewarnaan (36%), tahap persiapan benang (28%) serta produksi serat (15%). Belum lagi saat proses pencucian, ada 500.000 ton serat mikro yang dibuang ke lingkungan setiap tahun. Lalu bagaimana dengan di Indonesia?

Di Indonesia pun sama, industri pakaian telah menyumbang limbah tekstil sebanyak 2,3 juta ton per tahun, 80% di antaranya berakhir di tempat pembuangan, mencemari tanah hingga perairan. Data KLHK tahun 2021 menunjukkan bahwa 2,3 juta ton limbah pakaian setiap tahunnya, yang setara dengan 12% dari total limbah rumah tangga. 

Industri pakaian juga menyumbang potensi perubahan iklim melalui emisi. Direktur Asosiasi Daur Ulang Tekstil Inggris menyatakan, sebanyak 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh industri tekstil di dunia.

Alasan limbah fesyen merusak lingkungan (desain pribadi)

Kondisi ini jelas menjadi ancaman bagi keberlanjutan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Dampak fast fashion inilah yang mengetuk inisiatif Alfira untuk membuat pakaian-pakaian ramah lingkungan dan punya nilai berkelanjutan.

Tahun 2020, Alfira menetaskan produk kain ramah lingkungan dari kayu lantung dan diberi nama Semilir Ecoprint. Semilir Ecoprint terlahir bukan hanya dari keresahan soal pencemaran lingkungan, lebih dari itu, jenama ini muncul karena keinginan untuk melestarikan budaya melalui lantung sebagai bahan kain tradisional. 

Harapan Bersemi dari Kayu Lantung

Belum banyak orang mengenal pohon lantung. Bila mencari kata kuncinya di internet saja, jumlahnya tak melimpah. Dijelaskan bahwa lantung (Artocarpus Altilis) merupakan jenis pohon endemik di Pulau Sumatera. Tanaman hutan ini masih satu keluarha dengan nangka dan cempedak.

Salah satu keunggulan kayu lantung, ia tak mudah rusak atau sobek karena kedekatan getahnya yang kuat. Alasan inilah yang membuat kulit kayu pohon lantung dimanfaatkan masyarakat Bengkulu sebagai bahan kain. 

Kayu lantung punya sejarah cukup panjang sebagai bahan pakaian di Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, sekitar tahun 1943, karena keterbatasan ekonomi, masyarakat membuat pakaian-pakaian dari kulit kayu. Hal ini karena kondisi ekonomi masyarakat yang lemah di masa penjajahan. 

Ada beberapa pohon yang bisa dimanfaatkan untuk membuat kami yakni pohon karet hutan, ibuh, maupun terap atau kedui. Pohon-pohon tersebut memiliki banyak getah sehingga ketika dibuat kain, tak mudah robek atau rusak. 

Pada masa penjajahan Jepang, jumlah pohon lantung masih banyak jumlahnya. Biasanya, pohon bisa diambil kulitnya ketika berusia 6-10 tahun. Semakin lama, maka kualitas serta kulit kayu semakin baik.

Para perempuan sedang membuat kain dari kayu (dok. Semilir Ecoprint)

Sebagai perempuan berdarah Bengkulu, Alfira tahu bahwa masyarakat lokal di sana memanfaatkan kulit kayu sebagai bahan utama pembuatan kain. Meski demikian, kain ini belum terlalu populer dan digencarkan produksinya. 

Saat ini, kain lantung dimanfaatkan sebagai cenderamata khas Bengkulu, misalnya tas, dompet, sandal, tempat tisu, topi, dan sebagainya. Berita baiknya, pada tahun 2015, kain lantung ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak benda Indonesia dari Provinsi Bengkulu. Pengakuan ini, harusnya menjadi tanda bahwa kain lantung wajib diperbanyak dan dilestarikan. 

Kain lantung terbuat dari serat kayu. Itu artinya, dalam proses pembuatannya menggunakan cara-cara ramah lingkungan. Tidak seperti bahan polyester, linen, katun atau bahan dari hewan seperti wol. 

Dalam rangka mendukung keberlanjutan lingkungan melalui pakaian, dunia mulai sadar akan penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan. Industri fast fashion perlu mengganti kain-kain yang mengandung mikroplastik—sehingga susah terurai—menjadi kain ramah lingkungan berbasis alam. 

Berdasarkan kondisi tersebut, maka penggunaan bahan alam dari kayu, serat kapas hingga sutra bisa jadi alternatif pengganti kain polyester. Kain dari kayu lantung boleh dipilih sebagai bahan untuk membuat pakaian berkelanjutan. Hanya  saja, belum banyak orang tahu mengenai kayu lantung meski itu menjadi Warisan Tak Benda Provinsi Bengkulu. 

Harapan itu pun bersemi melalui tangan Alfira Oktaviani. Berbekal kecintaan dan pengetahuan soal Kayu lantung, Alfira mencoba membuat seni kriya berupa pakaian, dompet, kerudung, hingga tas melalui menggunakan kain lantung. Dari produk itulah terlahir jenama Semilir Ecoprint.

Semilir Ecoprint, Menghidupkan Ekonomi dan Keberlanjutan Lingkungan

Semilir Ecoprint lahir dari kecintaan Alfira terhadap seni dan alam. Jenama ini juga hadir berkat keresahan-keresahan atas maraknya fast fashion yang berdampak pada kerusakan alam. 

Penggunaan bahan pada kain yang tak bisa terurai serta proses pembuatan kain yang menyerap air, menggunakan pewarna sintetis, membuat industri pakaian cepat sebagai penyebab perubahan iklim. Melalui Semilir Ecoprint, Alfira berharap jika fashion dan seni bisa menyatu tanpa merusak alam. 

Semilir Ecoprint sudah ada sejak tahun 2018. Mulanya, Alfira menggunakan kain biasa dan memadukannya dengan pewarna yang ia buat dari pepohonan. Kemudian, ayahnya memberi ide menggunakan kain lantung khas Bengkulu sebagai pelengkap karya miliknya. 

Berkarya untuk masa depan lingkungan melalui Semilir Ecoprint adalah dedikasi luar biasa dari seorang Alfira untuk mendukung keberlanjutan. Harmoni antara alam dan kain mampu menghidupkan kreativitas melalui secarik kain ramah lingkungan. 

Atas dedikasi tersebut, Alfira dianugerahi penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra pada tahun 2022. Mulanya, ia tak menyangka bakal menjadi salah satu pemenangnya. 

Para perempuan yang berkontribusi atas jenama Semilir Ecoprint (dok.Semilir ecoprint)

Ada harapan mengalir dari dirinya, agar di masa depan, lebih banyak orang peduli pada keberlanjutan bumi melalui pembuatan pakaian ramah lingkungan. Seperti apapun, limbah pakaian menyumbang porsi besar dalam kerusakan lingkungan. 

Selain itu, dengan terwujudnya Semilir Ecoprint, asa Alfira untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat terbuka lebar, termasuk untuk para perempuan pengrajin kayu lantung, yang saat ini telah tergusur zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam