Laman

Jumat, 20 September 2019

Dia yang Menebar Embun Di Bumi Wonogiri

Beringin Kembar yang ditanam di Alun-alun selatan Yogyakarta
(Dokumen Pribadi)
Akhir-akhir ini, media sosial tengah hipe dengan kisah-kisah seputar kehidupan gaib. Layaknya candu yang memabukkan, cerita tentang hantu kerapkali memberi ruang bagi akal manusia untuk terus menggali tanpa henti. Di twitter, facebook, instagram hingga youtube sekalipun, tak ketinggalan membahas kisah mistik sebagai sisi lain budaya di negeri ini.

Saking gencarnya khalayak membahas itu, setiap benda atau tempat yang dirasa berkaitan dengan dunia mistis, acapkali mencuat dalam bentuk cerita yang mendebarkan. Katakanlah seperti pohon beringin.

Bagi masyarakat penganut okultisme, mafhum mengenai beringin bukan sekadar pohon biasa yang memijak sebagai tanaman tropis, tetapi, pohon yang menyimpan energi besar, tempat para hantu bermukim.

Meski sebagian orang menganggap bahwa beringin bernilai filosofis dan layak dihargai. Tetapi sebagian lainnya tak mau bersinggungan langsung dengan pohon ini karena mitos-mitos yang menaunginya.

Dengan ukuran tubuh besar berikut akar-akar yang menggantung, pohon ini berkesan ngeri. Penuh dengan unsur magis di setiap lekuk batang hingga daun-daunnya yang rimbun.
Kumpulan Beringin di alun-alun utara kota Surakarta
(Dokumen Pribadi)
Namun, terlepas dari beringin yang memiliki banyak mitos, faktanya ia termasuk tumbuhan bernilai hidrologis dan ekologis. Beringin atau Ara (Ficus benjamin L) termasuk pohon yang ditanam sebagai bagian dari konservasi hutan lindung di Indonesia.

Pada tiap jengkal pertumbuhannya, pohon ini menyimpan manfaat begitu besar sebagai bank air, sumber pangan bagi satwa liar, hingga tanaman pencegah erosi tanah.

Menyuplik informasi dari forda-mof.org, beringin dipilih sebagai pelindung mata air karena pohon ini memenuhi kriteria yang ditentukan untuk menjaga lingkungan. Salah satunya, memberikan pengaruh dalam pengisian air (intersepsi dan infiltrasi) lantaran akarnya mampu mencengkeram tanah dengan baik.

Mungkin, adanya manfaat besar itulah yang kemudian menggerakkan salah satu warga Dusun Dali bernama Mbah Sadiman untuk melakukan penghijauan. Mbah Sadiman merupakan pahlawan penjaga alam dari bumi Wonogiri. Sosok yang dikenal lewat aksi hebatnya menanam belasan ribu pohon selama dua dekade lebih.
Mbah Sadiman, Figur penjaga alam yang menginspirasi banyak orang
(sumber gambar : Netz.id)
Mulanya, tak banyak orang yakin dengan tindakan yang dilakukan lelaki berusia 68 tahun ini. Pasalnya, dia bukan menanam lazimnya pohon yang bisa dijual seperti sayuran atau buah. Tetapi, malah menanam beringin--pohon yang dirasa kurang berguna jika dilihat dari aspek ekonomi. Uniknya, Mbah Sadiman bahkan rela menukarkan bibit pohon cengkeh yang ia miliki demi mendapatkan bibit beringin. Tindakan di luar kebiasaan ini kemudian menyeret asumsi bahwa mbah Sadiman telah gila.

Di Indonesia, umumnya masyarakat menganggap beringin sebagai pohon bernilai magis atau angker. Hal itu, tak lepas dari perspektif kultural yang dimiliki masyarakat secara turun temurun. Menanam beringin, sama saja memberi ruang bagi dunia mistik untuk hidup. Itu sebabnya, beringin-beringin yang Mbah Sadiman tanam sering ditemukan mati dicabut orang. Tentu saja, kondisi demikian membuatnya harus menyulam kembali bibit yang mati agar bisa tumbuh .

Dalam kehidupan masyarakat agraris, okultisme begitu mengakar kuat. Kentalnya kepercayaan terhadap unsur-unsur magis itu kemudian mengesampingkan nilai manfaat dari beringin. Tindakan mencabut bibit yang dilakukan oleh warga pada tanaman beringin milik Mbah Sadiman, disebabkan oleh rasa takut yang dibentuk oleh mitos yang berkembang. Mereka khawatir jika wilayahnya akan menjadi angker.

Saat masyarakat dilanda rasa khawatir akan hadirnya beringin-beringin itu, Mbah Sadiman justru sebaliknya. Dia menyukainya serta terinisiasi untuk menanam puluhan ribu pohon lagi di hutan Bukit Gendol hingga Ampyangan—hutan milik pemerintah di sisi tenggara lereng Lawu. Dalam upaya menanam pohon beringin, tak sedikit hambatan yang ia terima. 

Bayangkan, untuk menanam beringin, Mbah Sadiman harus membawa setiap bibit menuju ke atas bukit. Tentu saja jarak dan kondisi jalur tidaklah mulus layaknya jalan beraspal. Keadaan tersebut menjadi hambatan paling nyata baginya. Terlebih,  Mbah Sadiman melakukannya seorang diri. 
Mbah Sadiman dan bibit pohon yang akan ia tanam
(Sumber gambar : Ublik.id)
Mbah Sadiman merawat pohon beringin itu layaknya anak sendiri. Mulai dari menyiram, memberi pupuk hingga menanam kembali bibit yang tak berhasil tumbuh. Semua itu dilakukan secara sukarela, ia tak meminta uang sepeserpun dari warga. Menurutnya, semua tindakan itu didasari keikhlasan, lantaran cinta terhadap alam dan tanah kelahirannya.

Menurut Mbah Sadiman, dulu ketika kecil, hutan di bukit Gendol begitu lebat. Air mengalir dengan jernihnya. Masyarakat tak pernah merasa kekurangan sedikitpun sumber daya air untuk pertanian, perikanan, minum hingga kebutuhan lain.  Namun, semenjak terjadi penebangan liar, sedikit demi sedikit hutan menjadi gundul.

Puncaknya, pada tahun 1964, terjadi kebakaran hutan yang membuat lahan hangus tanpa sisa. Sejak itu, masyarakat jarang ada yang menjamah. Mereka meninggalkan begitu saja lahan sekarat itu. Tak ada yang datang, tak ada yang peduli.

Kemudian, setiap perjalanan pulang selepas menyadap getah pinus, Mbah Sadiman manyaksikan pemandangan lahan kritis itu hingga terbesit untuk menanam beringin sebagai tanaman yang dapat mengunci air di dalam tanah. Ia yakin, semakin banyak beringin itu memijak di atas lahan, semakin banyak pula air yang bisa ditabung melalui akar-akarnya. Alhasil, itu bisa menyuburkan kembali lahan kritis tersebut.

Setelah 23 tahun Mbah Sadiman mendedikasikan diri untuk melakukan penghijauan, kini, masyarakat mulai merasakan manfaat menabung air melalui beringin. Desa-desa tak lagi kering. Hutan di bagian tenggara lereng Lawu itu tak lagi merana. Julukan gila yang pernah tersemat pun perlahan hilang bersamaan dengan munculnya manfaat yang begitu besar. Dialah Sadiman, penjaga alam yang menebar embun di bumi Wonogiri.
Tindakan yang dilakukan Mbah Sadiman cukup menginpirasi banyak orang. Tak heran dia mendapat berbagai penghargaan atas dedikasi yang telah diberikan. Beberapa waktu lalu, Mbah Sadiman bahkan menerima penghargaan “Reksa Utama Anindha” dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atas sikap bijaknya menjaga alam.
Pemberian apresiasi dari BNPB kepada Mbah Sadiman
 (Sumber : Instagram BNPB)
Kawan, aksi yang dilakoni Mbah Sadiman patut ditiru oleh generasi masa kini. Dia mengajarkan bahwa ketika kita jaga alam, alam jaga kita. Melalui ribuan beringin yang tumbuh subur di lereng Lawu, alam menjaga setiap makhluk di dalamnya melalui ketersediaan air, ketersediaan bahan makanan, hingga penjagaan dari bencana akibat erosi tanah.

Secara tak sadar, Mbah Sadiman telah menularkan budaya sadar bencana kepada kita semua melalui tindakan emasnya itu. Dia paham bahwa bencana kekeringan disebabkan oleh rusaknya ekosistem hutan di sekitar tempat tinggalnya. Dari budaya sadar bencana itu, dia mampu menganalisa manfaat beringin hingga menanamnya sebagai tumbuhan yang bernilai hidrologis dan ekologis.
Beringin Kembar sebagai warisan budaya di Depan Kraton Surakarta
(Dokumen Pribadi)
Kita tahu bahwa bencana zaman now tak hanya bicara tentang tsunami, gunung meletus, angin topan, gempa hingga bencana alami lainnya. Tapi juga bencana akibat ulah manusia seperti pencemaran, kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan.

Baru-baru ini, kita bahkan dibuat miris dengan terbakarnya hutan di wilayah Riau dan Kalimantan. Kabut asap mengepul tak karuan, panyakit ISPA menjangkiti masyarakat. Terlepas tahu tidaknya kita pada faktor penyebab kebakaran tersebut, seharusnya kita sadar bahwa mungkin saja alam tengah sekarat karena perilaku teledor kita. Kebakaran hutan menyebabkan kerugian tak hanya bagi manusia saja, tapi juga makhluk hidup lain.

Kenali bahayanya, kurangi risikonya adalah prinsip wajib yang harus digaungkan di dalam hati. Layaknya Mbah Sadiman, kita harus mampu mengenali situasi hingga mencari solusi yang bisa digunakan untuk memperbaiki lingkungan sekitar kita. Minimal, kita perlu menantang diri sendiri agar tak melakukan tindakan yang merusak alam.

Jika diri sendiri sudah terbentuk untuk mencintai alam, intuisi siap untuk selamat bisa terinternalisasi dengan mudah melalui mitigasi yang tepat. Ya, karena tugas kita adalah mendekap erat alam layaknya sahabat yang tengah membutuhkan kasih sayang.

Mbah Sadiman, mengajarkan kita untuk menebarkan kesejukan layaknya embun di atas rumput. Ia tak hanya membasahi tapi juga menumbuhkan kehidupan bagi tiap makhluk. Entah itu manusia, tumbuhan, hewan hingga makhluk gaib yang keberadaannya acapkali dijadikan kisah turun temurun. Pertanyaanya sekarang adalah, siapkah kita mengikuti jejak Mbah Sadiman sebagai penjaga alam?

Referensi : 

  • http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20100107095715

  • https://www.dream.co.id/news/10-bencana-mengerikan-di-dunia-yang-disebabkan-oleh-manusia-170614r.html

  • https://news.detik.com/berita/d-3004175/begini-kerja-keras-mbah-sadiman-agar-kekeringan-sirna-dan-bukit-gendol-hijau

  • http://www.forda-mof.org/files/sahabat_air1.pdf

  • https://www.brilio.net/news/sudah-diteliti-tiga-tanaman-ini-terbaik-untuk-mengatasi-kekeringan-1508017.html
  • Gambar menyuplik dari instagram BNPB, Ublik.id, Netz.id dan dokumentasi pribadi.

4 komentar:

  1. Wah mantap ceritanya

    Salut sama perjuangan Mbah Saiman

    Sebagai milenial dan blogger, kamu turut berkontribusi menyebarkankan kebaikan. #BeritakanYangBaik

    Karena #KitaJagaAlam, #AlamJagaKita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap, beritakan yang baik agar literasi kebencanaan diketahui semua orang :)

      Hapus
  2. Wah, keren mbah Sadiman.. Aku jadi ingat di kampungku dulu sungai yang airnya deras dan jernih, di atas tebingnya memang ada pohon beringinnya. Ternyata manfaat beringin bagus ya untuk hidrologi. Aku jadi berpikir, jangan2 kesan seram sebagai pohon tempat tinggal makhluk tak kasat mata itu sengaja disematkan ya..biar ga ditebang sembarangan...hihi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi sih mba, awalnya memang dilarang biar ga di tebas ama orang, trus dianggap mistis. Jadinya tuh beringin tetep lestari deh hehehe

      Hapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam