Laman

Selasa, 01 Oktober 2024

Fenomena Open Donasi dan Kedermawanan yang Disalahgunakan

“Jika kamu memiliki harta atau kemampuan berlebih, maka bersedekahlah. Sebab sedekah akan membersihkan hartamu dan sedekah tidak membuatmu miskin”

***

Konsentrasi saat mendengarkan tausiah terpecah ketika adik datang menemui saya. Dengan raut muka sedih, ia menyodorkan ponsel dan memperlihatkan sebuah video tentang seorang bapak dan anaknya yang sedang duduk di resto ayam goreng. 

Dari POV kamera, terlihat si bapak mengamati lekat-lekat si anak yang makan ayam goreng secara lahap. Dibumbui caption yang membuat hati menjerit, dikatakan bahwa si bapak hanya punya uang untuk seporsi ayam goreng plus nasi. Dengan demikian, ia tak makan sama sekali. 

Setelah video itu viral, berbagai komentar saling menyahut. Banyak sekali warganet yang merasa kasihan pada si bapak dan berniat membuka donasi untuk keduanya. Saya membaca satu per satu komentar yang ada. 

“Ya ampun, sedih banget. Mau donk kasih donasi untuk bapaknya”

“Jadi inget bapakku di rumah. Open donasi boleh aja yuk”

"Sedih banget, hiks, jadi pengen nangis"

"Open donasi yuk guys untuk bapaknya, gak tega aku lihatnya"

Benar saja, beberapa hari kemudian, si pengirim video mengatakan bahwa selama semingguan, sudah ada uang donasi yang terkumpul. Uang tersebut kemudian diberikan ke bapak yang bersangkutan. Tak berapa lama, muncul utas mencengangkan di twitter. 

Menurut salah satu warganet twitter—yang merupakan  tetangga si bapak mengatakan bahwa si bapak bukanlah orang miskin. Ia memiliki rumah bagus, kendaraan dan pekerjaan bergaji cukup besar. 

Lantas, hal itu menimbulkan pro dan kontra. Beberapa orang mengaku ikhlas dengan donasi yang diberikan, beberapa lainnya merasa menyesal telah memberi donasi pada orang yang tak berhak. Yup, saya akui, soal donasi ini memang butuh ketelitian. 

Fenomena open donasi setelah melihat konten ‘melas' atau konten ‘bersyukur' seringkali terjadi. Hal ini tak lepas dari sifat orang Indonesia yang mudah merasa kasihan. Berdasar World Giving Index (WGI), Indonesia merupakan negara paling dermawan 7 tahun berturut-turut dengan nilai 74 poin.

Data dan infografis ranking Indonesia sebagai negara paling
dermawan (Sumber : IG Fiskal Kemenkeu)

Melalui riset WGI membuktikan bahwa kemurahan hati warga Indonesia begitu besar. Masyarakat selalu siap membantu siapapun tanpa mengenal waktu dan lokasi. Ada beberapa faktor yang membuat kedermawanan itu bisa awet layaknya ikan diberi formalin. 

Menurut info yang dinukil dari Antara, faktor kedermawanan dipengaruhi oleh ajaran agama seperti zakat maupun sedekah, tradisi lokal seperti gotong royong, kemudahan berdonasi melalui platform digital, perkembangan media sosial, hingga tingginya empati masyarakat, terutama yang berhubungan dengan kemiskinan. 

Berita baiknya, tingkat kedermawanan ini penanda bahwa masyarakat Indonesia meninggikan kepedulian satu sama lain. Meski demikian, tak selamanya kedermawanan melalui donasi itu baik. Bagian buruknya, beberapa oknum kerap memanfaatkan kedermawanan masyarakat untuk mengeruk uang dengan cara menipu bahkan mengemis di media sosial. 

Jagat Twitter sempat diramaikan dengan postingan mengenai seorang lelaki yang meminta donasi dari DM ke DM. Lelaki itu bernama Singgih. Ia kerap meminta donasi via direct message. Singgih bercerita sedang membutuhkan uang untuk biaya ibunya yang sakit gagal ginjal serta terapi anaknya yang terlambat berbicara. 

Dan ya, melalui cerita itu, Singgih berhasil memperdaya netizen dan meraup uang lebih dari Rp 100 juta dari donasi. Jika dirinci, tiap orang memberi uang mulai dari nominal Rp 10.000 hingga jutaan rupiah. Itu masih dari media sosial twitter, belum membahas media sosial lainnya. Diketahui pula kalau Singgih meminta donasi lewat platform Kitabisa.

Permohonan donasi yang dilakukan Singgih di platform Kitabisa

Plot twist-nya, setelah ditelusuri beberapa pihak, ternyata uang donasi yang Singgih dapat, digunakan untuk beli Iphone terbaru, PS 5 serta membayar biaya kontrakan elitnya. Gila kan? Yang berdonasi bisa jadi cuma punya duit dikit, yang dikasih donasi malah foya-foya. 

Semenjak kasus Singgih menyeruak, tiap orang mulai skeptis terhadap fenomena open donasi di media sosial. Warganet menyayangkan tindakan oknum licik yang memanfaatkan kedermawanan untuk menipu dan mengeruk uang melalui cerita sedihnya.

Kasus lain, warganet tiktok bernama @rita.kuswanti2 membagikan cerita melalui videonya. Rita mengungkapkan bahwa ia didatangi seorang bapak ojol yang meminta bantuannya untuk membeli 40 nasi kotak seharga total Rp 1 juta. 

Menurut bapak ojol, ia terkena orderan fiktif dari customernya. Hal itu membuat si bapak kelimpungan menjual kembali nasi yang sudah dipesan. Si bapak menambahkan, kalau ia mau memberikan nasi ke panti asuhan namun jaraknya terlalu jauh. 

Ternyata, cerita orderan fiktif dari customer hanya akal-akalan bapak ojol. Banyak netizen  di kolom komentar mengungkap bila mereka pernah didatangi si bapak dengan narasi dan modus yang sama. Yup, bapak ini udah ke mana-mana. Datang tiap rumah untuk menebar jeratan melalui kisah malangnya. 

Para driver ojol akhirnya berkomentar kalau pihak aplikasi tak sejahat itu membiarkan para driver ojol menanggung dampak dari ‘pesanan palsu'. Itu merupakan modus baru untuk menarik simpati. Driver ojol licik menggunakan cerita sedih demi mendapatkan uang lebih banyak. Sungguh terlalu! 

Nah, melihat banyaknya penipuan donasi yang memanfaatkan kedermawanan, membuktikan bahwa masyarakat Indonesia kurang hati-hati dalam bersedekah. Jika ini dibiarkan, maka dampaknya akan meluas. Berikut ini dampak dari kedermawanan yang tidak disertai sikap bijak dan skeptis, 

Pertama, kedermawanan rentan melahirkan berbagai modus penipuan yang memanfaatkan cerita sedih. 

Kedua, kedermawanan menciptakan kemalasan. Kemungkinan, akan ada lebih banyak oknum memilih ngemis di media sosial ketimbang bekerja dengan tenaganya. Contohnya bisa kamu lihat di tiktok. 

Banyak sekali akun tiktok yang melakukan eksploitasi terhadap lansia demi mendapatkan gift. Para lansia diguyur-guyur air hingga basah serta kedinginan. Kemudian, si pemilik akun meminta bayaran dalam bentuk gift. 

Ketiga, kedermawanan berlebih berpotensi menciptakan penyiksaan, terutama terhadap hewan. Lho kok bisa? Ini terjadi pada orang-orang yang suka meminta donasi untuk pengobatan hewan yang terluka. 

Jujur, saya sering menemukan konten bernarasi memelas dengan foto hewan berdarah-darah, terluka atau patah kaki. Ujung-ujungnya, si pembuat konten melakukan open donasi untuk biaya pengobatan hewan dalam foto. Problemnya, memang kalian yakin kalau luka itu akibat kecelakaan, bukan disebabkan oleh si pembuat video secara sengaja? 

Fakta yang perlu kita ketahui, kalau Indonesia berada di urutan pertama sebagai negara penyiksa hewan. Salah satu contoh konten penyiksaan itu bertujuan untuk meminta donasi. Saya pernah menemukan sebuah akun twitter yang menuliskan bahwa ia membutuhkan uang untuk pengobatan kucing liar yang tertabrak mobil.

Setelah dicari, ternyata akun tersebut, sejak dulu memang sering meminta donasi dengan memanfaatkan foto-foto kucing patah kaki. Kucing malang yang sering ia upload, bisa jadi bukan karena kecelakaan, tapi hasil penyiksaan yang ia lakukan demi menarik simpati.

Melihat fenomena tersebut, sudah seharusnya bila setiap orang mulai menguatkan sikap selidik dan skeptis. Hal ini dimaksudkan supaya kita tak dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggungjawab.

Jangan mudah merasa kasihan melihat postingan-postingan di media sosial yang dibumbui kesedihan. Semakin besar empati yang kita berikan pada konten-konten tersebut, maka semakin besar pula potensi eksploitasi di dalamnya. Kita wajib cek dan ricek, itu permintaan donasi betulan atau cuma bo'ongan. 

Saya sendiri, demi menghindari donasi abal-abal di media sosial, saya memilih mengarahkan uang saya ke masjid-masjid terdekat, atau ke orang-orang di sekitar saya terlebih dahulu seperti saudara maupun tetangga. Jangan sampai, saudara terdekatmu merasa lapar tapi kamu memilih membantu orang jauh. Pokoknya, jangan ya guys ya! 

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI

2 komentar:

  1. Betul. Saya juga selalu memulai donasi kepada orang-orang terdekat. Masjid, keluarga, atau kalaupun dari media sosial, saya harus tau dulu orang itu, atau paling tidak ada orang yang saya kenal dan percaya yang bisa membantu konfirmasi kebenarannya.

    Pernah juga saya donasi ke orang yang tidak saya kenal, tapi saya datangi langsung dan saya lihat sendiri kondisinya. Bukannya perhitungan atau tidak iklas, tapi alangkah baiknya kalau donasi itu diterima oleh orang yang benar-benar membutuhkannya, bukan diterima oleh oknum tak bertanggung jawab. Semoga panjang umur, orang-orang baik. By the way, tulisannya bagus, Kak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Kak Firman. Melihat fenomena yang sudah-sudah. Sering dibohongi perihal donasi, jadi milih-milih juga saya.

      Terima kasih Kak Firman sudah mampir ke artikel yang sederhana ini 🙏

      Hapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam