Laman

Selasa, 10 Agustus 2021

Sound of Borobudur : Ketika Keberagaman Menyatu dalam Alunan Musik

Indahnya keberagaman itu sama seperti pertunjukan orkestra. Setiap perbedaan alat musik yang dimainkan, bisa saling melengkapi membentuk harmoni suara yang indah. Bayangkan bila dalam suatu orkestra, hanya terdapat satu jenis alat musik yang berbunyi. Pastinya, suara yang terdengar terasa homogen, tak memiliki variasi warna, tak ramai didengar. Bisa jadi pertunjukkan akan terasa membosankan.

*** 

Sebuah notifikasi dari Whatsapp terlihat menyembul di bagian atas ponsel. Ketika kulihat, ternyata pesan dari Mbak Agustina, teman sesama blogger dari Yogyakarta. Mbak Agustina mengucapkan selamat dan mengabarkan bahwa aku masuk sebagai  salah satu pemenang lomba menulis “Sound of Borobudur” yang diadakan oleh Kompasiana dan Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif.

Aku terperanjat bahagia. Tawa riang begitu menguar tiba-tiba melalui bibir ini. Bagaimana tidak? Para pemenang nantinya berkesempatan langsung untuk mengikuti Konferensi Internasional Sound of Borobudur yang berlokasi di salah satu Desa Wisata di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. 

Tepat pada tanggal 23 Juni 2021 aku berangkat ke Magelang menaiki Kereta Api yang dilanjutkan langsung menuju sebuah penginapan dalam bentuk Balkondes (Balai Ekonomi Desa) bernama Ngargogondo. Penginapan itu telah dipersiapkan panitia sebelum aku dan lainnya mengikuti Konferensi internasional Borobudur, esok harinya, tanggal 24 Juni 2021.

Bapak Menteri Parekraf, Sandiaga Uno memberi sambutan dan membuka acara (Dok.Pri)

Jujur, aku masih belum bisa membayangkan bagaimana acara tersebut bakal dihelat. Sebab, itu baru pertama kalinya aku menyaksikan konferensi level internasional yang bakal diisi oleh tamu dari berbagai kalangan. Mulai dari akademisi, pejabat pemerintahan, pegiat wisata, jurnalis, praktisi, musisi, hingga etnomusikologi.

Para tamu yang tengah mendengarkan sambutan dari Bapak Purwacaraka (Dok.Pri)
Para tamu-tamu penting yang tengah berbicara seputar acara Sound of Borobudur. Ada Addie MS, Trie Utami dan beberapa tamu penting lain (Dok.Pri)
Kamis, 24 Juni 2021 akhirnya aku touch down ke Balkondes Karangrejo, Magelang—lokasi yang dipilih untuk acara. Disana sudah ramai banyak orang. Terparkir rapi mobil para tamu, bus-bus pariwisata berikut mobil petugas kesehatan untuk SWAB para tamu yang hadir.

Aku yang tengah menunggu giliran tes SWAB terlebih dahulu
sebelum masuk ke venue (dok.Pri)
Mengenai venue konferensi, mulanya aku kira akan dilaksanakan di hotel berbintang 5. Namun ternyata aku salah. Sebuah Balkondes--penginapan milik masyarakat hasil kolaborasi dengan BUMN--dipilih sebagai venue. Alasannya supaya tercipta atmosfer yang berbeda dan lebih dekat dengan alam pedesaan.

Tentang Konferensi Internasional Sound of Borobudur, aku kira acara tersebut hanya bicara mengenai materi-materi berkenaan musik saja, tapi nyatanya tidak, Konferensi Internasional Sound of Borobudur lebih dari itu. 

Bertajuk “Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik”, penghelatan ini benar-benar membuka berbagai sudut pandangku tentang banyak hal, termasuk tentang keberagaman yang dimiliki negeri ini.
Musik pembuka untuk menyambut para hadirin yang datang (Dok.Pri)
Ya, ajang ini bukan hanya bicara tentang menghidupkan musik sebagai kekayaan Indonesia tetapi juga bagian dari pengamalan toleransi antar manusia. Musik adalah media untuk merekatkan keberagaman.

Bagaimana tidak? Melalui musik, orang-orang bisa saling bertemu dan berinteraksi. Melalui musik pula, orang tak pandang bulu tentang berbagai perbedaan yang melekat. Itu terlihat sedemikian gamblang dalam wajah Sound of Borobudur melalui mini orkestranya.

Sekilas tentang Sound of Borobudur. Ajang ini merupakan mahakarya yang digagas oleh musisi seperti Trie Utami, Dewa Bujana, Rully Febrian, Redy Eko Prastyo, Bahtiar, Purwacaraka dkk melalui komunitas bernama Japung Nusantara. Di dalam komunitas tersebut terdiri dari beragam orang dengan variasi karakter, perspektif, kepercayaan hingga asal muasal daerah. 

Awal mula lahirnya pergerakan musik ini berkaitan dengan kegundahan seorang Trie Utami terhadap alat-alat musik yang terlukis di relief Candi Borobudur.
Alat musik di relief dan yang berhasil direkonstruksi (Sumber : Japung Nusantara)
Mengapa tak pernah ada orang yang bertanya dan penasaran bagaimana alat-alat musik itu bisa disana? Mengapa tak banyak buku-buku pelajaran yang mengulas Borobudur dari perspektif yang lain, semisal soal flora dan fauna, makanan, gerabah atau alat-alat musik?

Padahal semua informasi berharga itu tertata begitu rapi dan mempesona di tembok-tembok candi. Semua pengetahuan tersebut bisa dijadikan media pembelajaran bagi anak-anak sekolah. Dengan begitu, anak-anak tak hanya mengenal Borobudur sebagai tempat wisata, tetapi juga ladang memanen pengetahuan, ladang mengasah nalar.
Komunitas Japung Nusantara. Berisi para musisi inisiator
Sound of Borobudur (Gambar : Web Japung Nusantara)
Demi mengusir keresahan tersebut, bertahun-tahun Trie Utami dkk mempelajari literatur mengenai relief-relief alat musik di Borobudur dan berkeinginan menghidupkan relief alat musik itu menjadi sebentuk nyata yang bisa dimainkan dan dipertunjukkan ke khalayak ramai.

Hingga pada pembukaan Borobudur Cultural Feast tanggal 17 Desember 2016, menjadi momentum launching Gasona, Gasola, dan Solawa, tiga buah instrumen dawai yang bentuknya diambil dari relief Karmawibhangga. Momen yang sungguh bersejarah bagi kawan-kawan Japung Nusantara. 

Lima tahun selekas itu, tepatnya tanggal 24 Juni 2021 lalu, Trie Utami, Purwacaraka, Addie M.S, Dewa Budjana dan musisi yang lain hadir di Magelang (baik online maupun offline) untuk memainkan alat-alat musik itu. Yang membuat aku bahagia, aku berkesempatan berada di event tersebut secara langsung.
Foto bersama Pak Menteri, para musisi dan beberapa tamu undangan (Dok.Pri)
Konferensi Sound of Borobudur dilaksanakan secara hybrid yakni offline dan online melalui platform Mice Borobudur, Kompas TV, zoom dan youtube Kompas. Melalui platform online, para tamu undangan dari luar negeri bisa turut menyaksikan prosesi hingga selesai.

Karena acara ini merupakan konferensi Internasional, beberapa penyampai materi berasal dari luar negeri seperti Prof. Emerita Margaret Kartomi, Guru Besar di Sir Zelman Cowen School of Music and Performance, Monash University, Australia, Moe Chiba mewakili UNESCO, dan Sulaeman Shehdek selaku perwakilan Visit Indonesia Tourism Officer (VITO) Singapura.
Prof Emerita Margaret tengah menyampaikan materi tentang musik via Zoom (Dok.Pri)
Selama kurang lebih 10 jam aku dan tamu undangan mengikuti Konferensi Sound of Borobudur, aku jadi tahu bahwa Indonesia itu luar biasa. Bahkan sejak abad ke-9 SM, Indonesia telah memiliki beragam kebudayaan serta kisah-kisah tentang toleransi yang sedemikian tinggi. 

Yap, semua kisah-kisah tersebut tertatah rapi dalam relief-relief di Candi Borobudur yang bernama Karmawibhangga. Sedikit bercerita, Relief Karmawibhangga memberikan penggambaran mengenai biksu yang berjumlah 18 orang, pendeta Siwa (agama Hindu) berjumlah 29, belum termasuk identifikasi jumlah Resi. 

Bila kita dedah, Raja Samarattungga menganut ajaran Buddha, namun ia tetap membiarkan umat beragama lain beribadah. Bahkan ia membiarkan putrinya, Pramodawardani menikah dengan Rakai Pikatan yang beragama Hindu Siwa. 

Tertatahnya beragam alat musik pada zaman itu menjadi penanda bahwa Samarattungga adalah raja yang sangat mengagungkan seni serta terbuka pada keragaman dari daerah bahkan negara lain. 

Itu terbukti dari terdapatnya alat-alat musik yang mirip dengan yang dimiliki negara India, China dan Jepang seperti Suling, Luthe, Ghanta, Simbal, Cangka, Gendang, dan Saron. Coba kalau Samarattungga tak memiliki toleransi, semua alat-alat musik atau budaya asing pasti sudah dilarang masuk dan tak pernah dimunculkan pada relief.
Sebagian alat-alat musik pada relief Borobudur (Sumber : Bumiborobudur.com)
Ada 226 relief alat musik di dinding Candi Borobudur. Semuanya termasuk alat musik jenis aerophone (tiup), cordophone (petik), idiophone (pukul), membranphone (alat musik dengan membran), dan ada relief ansambel.
 
Sound of Borobudur 2021 dan Sebuah Makna Keberagaman

Konferensi internasional Sound of Borobudur di gelar dengan begitu hikmat. Tamu-tamu undangan seolah mendapat paradigma baru perihal musik nusantara di masa lalu. Setelah seminar dan tanya jawab selesai, pada bagian  pungkasan, sekitar pukul 15.00 WIB, para musisi dari berbagai daerah di Indonesia bertemu dalam satu panggung.
Penampilan para musisi dari berbagai daerah di atas panggung (Dok.Pri)
Mereka adalah Trie Utami (Jakarta), Vicky Sianipar (Sumatera), Samuel Glenn (Papua), Nurkholis (NTB), Uyau Moris (Kalimantan), Dewa Budjana (Bali) dan Ivan Nestorman (NTT). Masing-masing orang seolah merepresentasikan wajah-wajah nusantara dengan memainkan alat-alat musik yang berbeda-beda.

Bisa dilihat, ada Sape’, alat musik khas Kalimantan, Tifa alat musik yang berasal dari Papua, Sasando alat musik yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, Gamelan dari Jawa, dan sisanya merupakan alat musik yang diambil dari relief-relief Candi Borobudur.
Beberapa alat musik hasil rekonstruksi dari relief Candi Borobudur (Dok.Pri)
Ketika mini orkestra ditampilkan di atas panggung, aku begitu terkesima dengan harmoni yang dimunculkan melalui alat-alat musik yang dimainkan. Terdengar kombinasi suara Tifa, Sape, Gamelan, Sasando dan alat musik dari relief yang sangat cantik. 

Para tamu terlihat antusias. Sampai-sampai, bagian depan panggung dipenuhi banyak orang. Mereka merekam, memotret, berjoget dan menikmati mini orkestra yang tengah disuguhkan oleh para musisi dari berbagai daerah itu.
Para Musisi Sound of Borobudur yang berfoto bersama selepas menampilkan
mini orkestra yang begitu cantik (Dok.Pri)
Melalui event Sound of Borobudur, aku melihat betapa indahnya keberagaman yang dimiliki Indonesia. Perbedaan agama, suku, dan bahasa menyatu dalam balutan harmoni indah di atas panggung bernuansa merah itu.

Jujur, aku sangat kagum dengan pemandangan di hadapanku. Nyatanya, Indonesia begitu indah dengan perbedaan yang ada. Seperti dalam permainan musik orkestra, harus ada berbagai macam alat musik agar lantunan nada yang dimunculkan terasa indah dan harmonis. Homogenitas alat musik, hanya akan membuat penampilan orkestra menjadi tak bernyawa. Membosankan. 

Setelah konferensi berakhir, kami para blogger diajak untuk berdiskusi bersama mengenai perkembangan alat musik yang telah dimainkan. Mbak Trie Utami selaku penggagas dari terciptanya “Sound of Borobudur” mengajak kami berpikir mengenai peradaban nusantara di masa lalu.
Mbak Trie Utami tengah mengajak diskusi kami, para blogger dan sesama musisi,
terkait pengalaman selepas konferensi (dok.pri)
Musik memiliki fungsi yang sangat strategis bagi peradaban. Melalui musik, manusia bisa menyampaikan apa yang tak bisa disampaikan. Melalui musik, hubungan antar manusia dan antar bangsa bisa terjalin satu sama lain. Tentunya, dengan mengedepankan rasa toleransi dan penghargaan pada keberagaman yang tinggi. 

Mbak Trie Utami mengutarakan mini orkestra yang dipersembahkan dalam konferensi merupakan sebentuk pemberitahuan kepada publik bahwa musik-musik yang tertatah di Candi Borobudur menjadi bukti bahwa leluhur kita sangat menghargai keberagaman dan welcome kepada siapa pun yang datang ke Mataram kala itu.
Lukisan Candi Borobudur yang terpajang di Galeri Limanjawi (Dok.Pri)
Diharapkan dengan adanya konferensi Internasional bertajuk “Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik”, musik mampu menguatkan hubungan persaudaraan tidak hanya di dalam negeri tetapi juga dengan negara-negara lain sehingga semakin terbukalah pengetahuan kita mengenai keberagaman.

Yap, itu dia sekelumit perjalananku ketika mengikuti event Sound of Borobudur yang dilaksanakan di Magelang beberapa waktu lalu. Bukan hanya pengetahuan mengenai musik yang kudapat dari sana, tetapi juga inspirasi mengenai peradaban leluhur yang begitu maju beserta penghargaan tinggi mereka pada keberagaman.
Aku dan para musisi keren Sound of Borobudur. Ada Uyau Moris, Ivan Nestorman, Vicky Sianipar, Samuel Glenn dan Nur Kholis (Dok.Pri)
Bahkan, melalui mini orkestra yang dipersembahkan Trie Utami dkk pada konferensi Sound of Borobudur pun memunculkan unsur perbedaan dengan melibatkan banyak musisi dari berbagai daerah dengan jenis musik yang berbeda pula.

Sungguh, itu hal luar biasa. Pengalaman semacam inilah yang kemudian membuka mataku bahwa keberagaman yang dimiliki negeri ini pantas untuk dirayakan bukan untuk diperdebatkan. Kawan, percayalah, Indonesia adalah negara toleran sejak zaman dulu!

"Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan mengikuti lomba "Indonesia Baik" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini

Referensi :
  • http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/belajar-toleransi-beragama-lewat-relief-candi-borobudur/
  • https://interaktif.kompas.id/baca/borobudur/
  • https://japungnusantara.org/sound-of-borobudur/
  • https://soundofborobudur.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam