Laman

Kamis, 13 September 2018

Budaya Sadar Bencana, Jadikan Indonesia Negeri Tangguh dan Berdaya

Nusantara masih berduka. Ya, pada awal agustus 2018 lalu, sebuah gempa berkekuatan cukup besar mengguncang wilayah Nusa Tenggara Barat dan sekitarnya. Gempa tersebut, tak hanya membuat ratusan rumah rata dengan tanah, ia juga memakan korban ratusan jiwa.


Gempa telah meninggalkan trauma dan duka yang begitu dalam bagi masyarakat setempat. Bahkan, traumatik yang diderita itu, membuat mereka merasa tak sanggup memejamkan mata untuk sekadar tertidur, mereka takut terjadi gempa susulan yang mungkin saja mengintai. Ya, itulah beberapa kesaksian dari masyarakat yang diwawancarai oleh salah satu media online yang saya baca. 

Gempa di wilayah Nusa Tenggara Barat ini sebenarnya satu dari sekian banyak catatan bencana alam yang telah terjadi di Indonesia. Beberapa tahun silam, Indonesia juga pernah mengalami guncangan dahsyat di beberapa wilayah seperti Aceh tahun 2004 yang disertai peristiwa tsunami, gempa di pulau Nias tahun 2005, gempa Yogyakarta pada tahun 2006, dan masih banyak lagi. Deretan data itu membuktikan bahwa Indonesia memang memiliki potensi rawan bencana.

Indonesia rawan terjadi bencana? Ya, negara ini memang dikenal sebagai wilayah kepulauan yang dikelilingi oleh gunung api aktif serta berada pada jalur pergerakan lempeng bumi. Letak geografis inilah yang menjadikan Indonesia mudah sekali terjadi bencana alam terutama gempa, erupsi gunung api, angin puting Beliung, banjir, abrasi dan tanah longsor. 

Bencana alam tak bisa diprediksi oleh siapapun. Ia tiba-tiba bisa datang dikala manusia sedang terlelap. Ia bisa datang tiba-tiba ketika manusia sedang bekerja. Tidak akan ada manusia yang mampu menaksir waktu datangnya bencana hanya melalui logika atau prediksi, bahkan dengan dibantu alat pun terkadang manusia masih bisa salah.  

Bencana memang terkadang memiliki tanda-tanda tersendiri. Ada beberapa sinyal yang alam berikan, misalnya melalui pergerakan burung atau serangga yang tak biasa, surutnya air laut secara tiba-tiba, suhu udara yang berubah secara cepat, keluarnya hewan-hewan dari dalam hutan secara masal dan sebagainya. 

Ya, itu merupakan sinyal yang alam berikan untuk memperingatkan manusia bahwa ada sesuatu yang mungkin saja terjadi. Hanya saja, tak semua manusia memahami sinyal tersebut, bahkan saat peringatan siaga 1 keluar dari lembaga kebencanaan setempat pun, masih saja ada masyarakat yang memilih untuk menetap dirumahnya. Alasannya, supaya tidak terjadi pencurian barang berharga dirumah. Padahal, perilaku tersebut sangatlah berbahaya. Sebagai manusia yang cerdas, memahami prakondisi sebelum bencana terjadi adalah hal wajib, demi menyelamatkan jutaan manusia, untuk mengurangi risiko banyaknya nyawa yang bisa hilang.
Saya masih ingat awal mula saya menjejakkan kaki ke kota Yogyakarta beberapa tahun silam. Tepatnya pada tanggal 14 februari 2014. Saat itu gunung Kelud di Jawa Timur sedang mengalami erupsi. Sekira pagi pukul 05.00, saya merasakan atmosfer yang tidak biasa. Udara lebih terasa panas dan sesak. Selain itu, langit yang biasanya berwarna biru cerah, berubah menjadi jingga keabu-abuan. Awalnya, saya mengira bahwa keadaan tersebut terjadi karena cuaca mendung, namun ketika keluar kos, saya melihat kenyataan bahwa abu menutupi seluruh lingkungan rumah-rumah warga. Yes, itu bukan mendung, tapi Jogja terkena hujan abu dari gunung Kelud.

Nah, melalui kejadian tersebut bisa dilihat bahwa saat itu, saya hanya bisa merasakan tanda-tanda yang alam berikan berupa suhu yang meningkat serta suasana yang pekat. Namun, tetap saja saya tidak tahu bahwa Kelud telah memuntahkan laharnya. Kelud telah membuat Jogja tertutup abu vulkanik tebal. 

Kejadian meletusya gunung Kelud tak bisa diprediksi oleh siapapun mengenai waktu tepat terjadinya. Masyarakat hanya mengetahui tanda-tandanya dari banyaknya material yang telah dikeluarkan saat erupsi serta himbauan dari berbagai pihak termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk selalu siaga dan waspada terhadap segala kemungkinan. 

Sebenarnya, kejadian ini hampir sama dengan erupsi gunung merapi pada tahun 2010 lalu. Dan yang lebih mengerikan, erupsi gunung merapi ini, telah menelan korban jiwa yang begitu banyak. Tercatat, sekitar 260 lebih orang meninggal karena erupsi merapi. Bahkan tokoh masyarakat seperti Mbah Marijan harus menghadap Sang Illahi melalui erupsi tersebut.

Teman kos saya yang kebetulan berasal dari Magelang pernah bercerita kepada saya mengenai keadaan prabencana Merapi. Sebut saja namanya Hindun. 

Menurut Hindun, saat itu sekira pukul 10.00 WIB pemberitaan mengenai bahaya awan panas semakin kencang digaungkan, beberapa material vulkanik seperti batu-batuan telah berhamburan menjatuhi genteng rumah. Saat itu, Hindun dan keluarganya sudah cukup panik mengingat material tidak lagi berupa debu vulkanik tapi batu-batuan dan kerikil. Belum lagi suara dentuman cukup keras serta gempa dengan intensitas cukup sering yang membuatnya ketakutan. 
Hindun dan keluarganya kemudian memutuskan mencari tempat yang lebih aman, yakni  ke wilayah yang memiliki radius cukup jauh dengan merapi. Mereka segera menjauhi Magelang menggunakan kendaraan seadanya. 

Kata Hindun, setiap warga Magelang telah mendapat peringatan dari pihak BNPB setempat supaya menjauhi Merapi menuju radius yang lebih aman. Sebagian memilih untuk mengikuti peringatan tersebut namun sebagian tidak. Entah apa yang mereka pikirkan sehingga memilih untuk tetap tinggal, padahal kala itu merapi sudah dalam kondisi siaga 1. Suara dentuman dan juga getaran gempa semakin sering terjadi hingga sore hari. Dan ketika menuju magrib, dikabarkan bahwa lahar telah mencapai radius 17,5 kilometer. 
Saat itu Hindun dan keluarganya begitu panik karena suara sirine dan petugas begitu riuh. Dia mengatakan pada saya jika mengalami trauma tiap kali ada suara dentuman atau merasakan getaran. Baginya, ingatan mengenai ganasnya letusan Merapi membuat ia harus belajar untuk lebih waspada dan siaga bencana.

Erupsi Merapi telah menelan banyak sekali korban jiwa, termasuk ternak-ternak warga yang mati karena luka bakar yang teramat parah. Seperti dilansir melalui BNPB dalam harian Kompas, terdapat korban jiwa sebanyak 275 orang. Berikut rincian jumlah korban yang meninggal dalam erupsi Merapi 8 tahun silam.
Wow, cukup miris sekali melihat jumlah korban jiwa yang ada mengingat berbagai peringatan telah digaungkan oleh banyak pihak. Termasuk oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masing-masing daerah.

Mengapa masih banyak korban yang berjatuhan? Dan sebagian besar korban meninggal yang dievakuasi mengalami luka bakar serius. Ini artinya apa? Pada saat peringatan digaungkan, masih ada warga yang memilih menetap hingga mereka tak mampu lari dari ganasnya lahar panas yang telah mendekat. Ada apa dengan masyarakat? Apakah mereka belum memiliki budaya sadar bencana? Entahlah. Namun melalui ratusan korban meninggal, membuktikan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai bahaya bencana masih begitu rendah.

Indonesia memang rawan terjadi bencana alam yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan parah. Bisa kita lihat banyaknya korban yang meninggal ketika gunung Merapi erupsi. Ada 275 orang. Rata-rata dari mereka meninggal karena luka bakar. Ya, mereka terjebak karena memilih tinggal saat erupsi terjadi. Dengan adanya kondisi tersebut, peningkatan pengetahuan mengenai urgensi kebencanaan harus ditingkatkan mengingat budaya sadar bencana masyarakat masih kurang. Diperlukan sebuah sinergi nyata dari berbagai pihak untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan. 

Beberapa pihak memiliki cara tersendiri untuk mensosialisasikan budaya sadar bencana ke masyarakat. Salah satunya melalui pendekatan sosial dan budaya. Masih ingatkah kamu dengan sandiwara "Asmara ditengah Bencana" yang diputar di beberapa stasiun radio di tanah air?
BNPB memanfaatkan radio sebagai sarana sosialisasi karena media ini sangat dekat dengan masyarakat dan bisa menjangkau wilayah terpencil. Radio juga cukup efektif dalam memberikan informasi kepada masyarakat yang terdampak bencana, ketika alat komunikasi lain tidak berfungsi.

Beberapa waktu yang lalu, karena penasaran, saya sempat mengikuti episode ceritanya meski tak secara keseluruhan. Sandiwara yang bersetting di zaman kerajaan ini, merupakan bentuk kampanye BNPB mengenai sadar bencana dengan balutan cerita romantis.

Ya, Asmara ditengah bencana merupakan salah satu bentuk kampanye sadar bencana yang telah dicanangkan oleh BNPB untuk memberikan edukasi sekaligus hiburan ke masyarakat. Sebenarnya selain melalui sandiwara radio, masih banyak cara yang dilakukan untuk menggaungkan informasi perihal kebencanaan. Misalnya seperti kampanye yang dilakukan oleh BNPB di Kabupaten Trenggalek. BNPB Trenggalek memanfaatkan Wayang Kulit sebagai sarana untuk mengedukasi masyarakat mengenai sadar bencana. 
Saat ini, kampanye-kampanye kebencanaan telah digaungkan. Sosialisasi terkait tindakan yang harus dilakukan saat prabencana maupun pascabencana telah diinformasikan secara menyeluruh kepada masyarakat. Bisa kita saksikan melalui media sosial kita, baik instagram, twitter maupun facebook. Tak jarang, saya melihat berbagai infografis dan video menarik yang dibuat untuk mengedukasi masyarakat perihal kebencanaan. Misalnya infografis dari Indonesiabaik.id ini.
Dan tentu saja, kampanye itu tak hanya sekadar kampanye ketika masyarakat bisa aktif, mengambil sikap dan mengaplikasikan apa yang telah disosialisasikan. Menyoal bencana, kenali bahayanya kurangi risikonya. Yap, itu yang harus kita sadari sebagai masyarakat yang cerdas, tangguh dan tanggap terhadap kebencanaan.
"Bagaimana pengaruh budaya sadar bencana yang dimiliki masyarakat terhadap ketangguhan Indonesia?"

Bencana secara langsung telah menurunkan kualitas hidup masyarakat dan memicu terjadinya peningkatan angka kemiskinan di Indonesia. Why? Sebagian besar dampak bencana alam akan menpengaruhi kehidupan masyarakat miskin. Bencana yang melanda daerah-daerah rawan bencana menyebabkan keluarga miskin mengalami gagal panen, kehilangan aset produksi, kehilangan tempat tinggal, mengungsi, mengalami penurunan kesehatan dan terganggunya kehidupan sehari-hari akibat kerusakan parah. 

Beberapa penelitian yang dilakukan di daerah rawan bencana menunjukkan, bahwa keluarga miskin yang terkena bencana, kehidupannya lebih sengsara pascabencana. Kita bisa membayangkan kejadian pada masyarakat Lombok saat ini. Meski dalam proses pemulihan pascabencana, namun masyarakat kehilangan produktivitasnya karena beberapa asetnya rusak, rumah tinggal rata dengan tanah. Bahkan untuk beribadah pun masih mengandalkan puing-puing bangunan.
Berdasarkan Great Hansin Earthquake 1995, yakni sebuah penelitian di Jepang, korban bencana yang dapat selamat dalam masa "Waktu darurat" disebabkan oleh kesiapsiagaan diri sendiri, dukungan anggota keluarga, dukungan teman/tetangga, dukungan orang sekitar, dukungan Tim SAR, dan dukungan lainnya. Berikut merupakan infografis persentasenya.
Sesuai dengan hasil penelitian tersebut, maka diri sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar merupakan pondasi utama yang harus ditingkatkan pengetahuan dan kesiapsiagaannya demi mengurangi risiko bencana. Perlu adanya gerakan untuk merubah mindset masyarakat mengenai urgensitas kebencanaan nasional, sehingga mereka selalu siap untuk selamat kapanpun dan dimanapun.

Budaya sadar bencana yang ada, harus dipersiapkan sejak awal. Diharapkan melalui kesadaran dan persiapan yang matang, Indonesia bisa menjadi negara yang tangguh dan berdaya dalam menghadapi risiko kebencanaan. Berikut tindakan-tindakan yang perlu dilakukan berbagai pihak untuk menjadikan Indonesia tangguh terhadap bencana.
Negara Jepang pernah mengalami gempa dahsyat pada tahun 1891. Saat itu jumlah korban jiwa mencapai 140.000 orang dengan kerusakan yang teramat parah. Mulai dari kejadian itulah Jepang belajar membenahi diri. Pemerintah Jepang melakukan berbagai sosialisasi kebencanaan yang bisa menghindarkan diri dari berbagai risiko yang mungkin terjadi.

Sosialisasi tersebut tidak hanya dilakukan kepada masyarakat dewasa. Jepang juga mulai mensosialisasikan budaya sadar bencana melalui taman kanak-kanak di setiap wilayah. Tujuannya jelas, supaya masyarakat Jepang bisa mengaplikasikan budaya sadar bencana sejak dini. 

Bahkan menurut Emil Dardak (Bupati Trenggalek) mengatakan bahwa anak-anak di Jepang telah membiasakan meletakkan sandal dan kendaraan menghadap keluar sehingga sewaktu-waktu terjadi bencana, mereka segera bisa mengevakuasi diri. Sederhana tapi bermanfaat. 

Dengan adanya pengetahuan tersebut pada akhirnya Jepang telah berhasil menjadi negara tangguh gempa dimana pada tahun 2011 lalu terjadi lagi dengan kekauatan 8,9 SR. Gempa tersebut tidak membuat kerusakan seperti tahun 1891 yang lalu. Yap, dengan begitu, sosialisasi yang dilakukan pemerintah Jepang terhadap warganya berhasil. 

Diharapkan, Indonesia juga mampu memberikan sosialisasi serupa yang bisa mengubah mindset masyarakat mengenai kebencanaan. Dan tentunya, sosialisasi tersebut bukan hanya sekadar sosialisasi, namun membentuk sikap masyarakat untuk selalu siaga, waspada dan sadar bencana.
Pernah mendengar mengenai bangunan tahan gempa? Ya, saya sendiri pernah mendengarnya ketika membahas mengenai gempa di negara Jepang. Di Jepang, untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan parah akibat gempa, masyarakatnya mulai sadar untuk membangun perumahan dan bangunan-bangunan tahan gempa. 

Nah, di indonesia sendiri, kita sudah memilikinya lho. Apakah kamu pernah mendengar istilah Risha? Risha atau singkatan dari Rumah Instan Sederhana Sehat merupakan perumahan yang dibuat untuk menjadi solusi dari wilayah Indonesia yang sering terjadi gempa. Risha sendiri memiliki konsep Knock Down yang berarti mudah dibongkar pasang. Jika kamu pernah bernain Lego, konsep Risha ini hampir sama seperti permainan Lego. 

Risha merupakan konsep perumahan yang dikembangkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk menjadi solusi rumah tahan gempa bagi masyarakat. Nah, berbicara soal rumah tahan gempa selain Risha, sebenarnya sejak dulu Indonesia telah memilikinya. Berikut merupakan contoh kontruksi bangunan tradisional tahan gempa.
Simulasi kebencanaan itu penting. Meskipun terlihat sederhana, namun pengaruhnya begitu besar. Simulasi adalah bentuk tindakan yang bisa mengedukasi masyarakat untuk melakukan hal yang sama ketika menghadapi situasi kebencanaan. Ada beberapa simulasi yang biasanya disosialisaikan oleh BNPB. Misalkan simulasi kebakaran, simulasi  saat gempa bumi, simulasi saat erupsi gunung dan sebagainya.

Selain simulasi bencana. kita sebagai masyarakat juga perlu melakukan persiapan guna menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Sederhana saja, seperti yang ilustrasikan oleh Indonesiabaik.id ini bisa menjadi contoh siaga bencana yang bermanfaat.
Nah, ide tas siaga bencana ini menurut saya begitu penting dimiliki oleh setiap keluarga. Tas ini cukup fungsional karena terisi barang-barang penting. Menurut saya, mempersiapkan tindakan seperti ini termasuk cara yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan budaya sadar bencana.
Dalam beberapa kasus bencana yang ada di Indonesia, masih terjadi banyak kematian yang disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat akan tanda-tanda bencana yang muncul. Seperti gempa bumi di Lombok misalnya. Ratusan orang ditemukan meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan, setelah getaran dahsyat mengguncang. Kita juga bisa menilik kembali kasus erupsi gunung Merapi tahun 2010 lalu yang menelan korban jiwa sebanyak 275  orang.

Banyaknya kematian yang terjadi ini, disebabkan masyarakat tidak memperoleh informasi mitigasi bencana secara cepat dan tepat, karena belum kuatnya Sistem Peringatan Dini Bencana (Early Warning System) di Indonesia. Kalau pun ada, jumlahnya cukup minim, apalagi untuk daerah terpencil yang biasanya masih mengandalkan kentongan atau alat tradisional lainnya jika menemukan tanda-tanda kebencanaan.

Bagi masyarakat Indonesia, sistem peringatan dini sangat lah penting mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki ancaman bencana alam cukup tinggi. Pentingnya upaya mitigasi bencana melalui Sistem Peringatan Dini Bencana bahkan telah membuat Badan Meteorologi, klimatologi dan Geofisika (BMKG) melakukan lompatan inovasi teknologi 4.0 demi memperkuat sistem peringatan dini bencana di Indonesia. 

Ada beberapa produk inovasi yang diluncrkan oleh BMKG. Produk tersebut yaitu Inatews 4.0, Geohotspot BMKG 4.0 dan Info BKMG 4.0. Untuk informasi lengkapnya, kita bisa melihat infografis dari Indonesiabaik.id ini.
Well, Indonesia memang negeri yang rawan terjadinya bencana. Dengan potensi gunung api yang begitu besar serta terletak pada jalur pergerakan lempeng dunia, memungkinkan bencana alam dapat terjadi dengan mudah. Namun demikian, hal tersebut seharusnya tidak membuat kita menjadi bangsa yang takut dan tak berbuat apa-apa. Adanya pengetahuan kebencanaan dan tindakan siap siaga dari diri menjadi begitu penting. Selain itu, adanya inovasi teknologi kebencanaan juga perlu ditingkatkan fungsinya, demi mencegah risiko terburuk.

Bencana memang salah satu hal yang mempengaruhi bidang kehidupan masyarakat termasuk ekonomi dan sosial. Dengan adanya hal tersebut, pengoptimalan sosialisasi budaya sadar bencana sangat penting untuk dilakukan. Kenali bahayanya, kurangi risikonya. Ya, ini demi Indonesia, demi menjadikan negeri ini lebih berdaya dan tangguh menghadapi bencana. Apakah mungkin? Tentu. Saya yakin, Indonesia pasti bisa. Salam tangguh!!

Sumber Informasi :

Kaskus
Website Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Instagram Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Instagram IndonesiaBaik.Id
Media Indonesia
Humas Trenggalek
Detik

Indonesiabaik.id

26 komentar:

  1. Bencana memang kuasa Tuhan ya, siapapun tidak akan sanggup mencegahnya. Kita manusia hanya bisa mengantisipasi. Ikhtiar dan hasilnya tetap kita serahkan kepada Yang Maha Esa.

    Semoga korban bencana dimanapun berada tetap memiliki semangat dan yakin selalu ada hikmah terbaik dibalik semua itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin...
      Iya mba, semoga selalu diberikan yang terbaik

      Hapus
  2. semoga dengan adanya pengadaaan beberapa produk inovasi yang diluncrkan oleh BMKG terbaru dapat mengurangi potensi resiko korban bencana alam yang mungkin terjadi di masa mendatang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Inshaallah, semoga bisa menjadi peringatan yang lebih pasti ya mba

      Hapus
  3. Saya teringat salah seorang teman yang pernah tinggal di Jepang. Mereka seperti sudah "terbiasa" dengan bencana. Bahkan anak-anaknya pun meski terbilang masih kecil sudah diajarkan untuk siaga saat terjadi bencana, gempa terutama. Semoga di Indonesia masyarakat lebih memahami lagi tentang hal ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya berharap juga demikian kak, supaya risiko yang ditimbulkan tidak terlalu besar

      Hapus
  4. Alam memang selalu memberikan pertanda sebelum terjadi bencana, tapi sayangnya masih banyak manusia yang lebih sayang sama harta bendanya sehingga mau bertaruh nyawa dengan tetap berdiam di rumah. Bagus juga kalau awareness tentang bencana alam di kemas dalam drama ya, lebih menarik dan ngena ke hati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, kenyataannya banyak korban kadang karena alasan tersebut.

      Hapus
  5. Bener banget dengan waspada bencana setidaknya dapat meminimalisir kerusakan dan korban jiwa akibat bencana ya, seperti hlny Jepang yang mengalami tsunami dahsyat tapi masyarakatnya sudah waspada dari awal

    BalasHapus
  6. Bencana alam termasuk satu hal yang ga bisa diprediksi manusia dan ngga ada yang mau juga kena bencana alam kan... Tapi tetap harus waspada dan sadar akan bencana alam itu penting.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dilihat mengenai Indonesia saat ini memang membutuhkan kesiapsiagaan ya mbak, terutama terkait alat untuk peringatan awal bencana

      Hapus
  7. Melihat kondisi bencana sekarang ini, orang orang mesti tau cara mengatasi bencana. Lebih baik menjaga jaga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mba, jaga-jaga itu penting banget untuk mengurangsi risiko banyaknya kematian dan kerusakan bangunan

      Hapus
  8. Benar-benad turut prihatin atas peristiwa alam gempa lombok ya. Bagaimanapun mereka adalah saudara2 kita yang harus kita rangkul

    BalasHapus
  9. Indonesia memang patut belajar dr Jepang untuk urusan kesiapan menghadapi bencana.. secara kita tinggal di area yang memang akrab dengan bencana.. apalagi gempa ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mbak, di Jepang malah intensitas gempanya lebih besar. Cuma karena disana sudah benar2 persiapan jadi seminim mungkin kerusakan yang diakibatkan gempa.

      Hapus
  10. Bencana secara langsung telah menurunkan kualitas hidup masyarakat dan memicu terjadinya peningkatan angka kemiskinan di Indonesia. Namun, satu hal yang paling penting adalah kesiapsisagaan terhadap bencana. Masyarakat tahu yang dilakukan jika terjadi bencana.

    BalasHapus
  11. indonesia sebagai negara yang di lingkari dengan cincin api pasti akan banyak bencana yang menghampirinya.. sekarang sudah siapkah kita?? sekarang juga banyak kearifan lokal yang bisa kita gunakan.. sebagai contoh di merapi mereka sudah bisa membaca arah asap dan arah larva kemana..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagus tuh bang, malah kayak gitu bantu banget. Makasih sudah berbagi

      Hapus
  12. Bencana memang mengintai Indonesia, selain karena dilingkari dengan cincin api, indonesia juga memiliki lempengan tektonik yang bisa bergerak kapan aja.

    Kita sebagai manusia gak bisa menolak bercana tapi kita bisa berihtiar dengn lebih memahami ciri dan tanda dri bencana itu sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, makanya sekarangbsedang diupayakan membuat teknologi peringatan dini bencana

      Hapus
  13. saya menaruh respek kepada BNPB yg slalu berupaya menjalankan tugasnya dgn baik. terutama dlm aspek penguatan sistem peringatan dini yg tentu butuh investasi yang sangat tinggi.

    BalasHapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam