Laman

Senin, 30 Oktober 2017

Bukan Diam! Tindakan bernilai Emas itu Bernama Keberanian Bersuara

Saya sedang berada di kampus ketika sebuah notifikasi masuk ke hape saya. Saat itu saya sedang menunggu dosen pembimbing skripsi yang sudah janjian bertemu tepat pukul 14.00 WIB. Sambil menghilangkan rasa bosan karena menunggu, saya mulai scroll hape dan membuka notifikasi yang terpampang di bagian atas wallpaper.

Ternyata berasal dari sebuah akun instagram bernama Info cegatan Jogja. Info Cegatan Jogja merupakan akun publik yang menginformasikan beragam berita, mulai dari berita kehilangan, kecelakaan hingga curhat para netizen yang mengalami suatu kejadian. By the way,  Saya memang sengaja menyeting instagram saya supaya bisa updet akun tersebut sehingga saya mendapatkan berita seputar Jogja dan sekitarnya secara aktual. Postingan terupdet kali ini berupa curhat seorang netizen Jogja.

Seorang wanita yang disamarkan namanya oleh admin berbagi kejadian yang dialaminya semalam. Sebut saja namanya Rani. Rani bercerita bahwa beberapa orang laki-laki telah melakukan tindakan tak senonoh terhadapnya. Cerita bermula ketika dia pulang dari pentas seni di daerah TBY (Taman Budaya Yogyakarta). Saat itu, sekitar pukul 8 malam dia melakukan perjalanan pulang menggunakan motor. Ketika memasuki jalan Parangtritis, dia diikuti oleh pengendara lain. Merasa diikuti, dia melambat, berharap si pengendara itu menyalipnya. Namun ternyata mereka ikut melambat hingga akhirnya pengendara itu menyerempet Rani dan memegang pahanya. Sontak, saat itu juga Rani menjerit. Tetapi karena diwilayah tersebut kebetulan sepi, tak ada saksi yang melihat dan menolongnya. Dia hanya bisa pasrah dan menangis kala itu.
Cerita semacam itu sebenarnya satu dari sekian banyak cerita yang sering saya baca di media sosial dan dengar dari orang-orang terdekat. Banyak para wanita berbagi pengalamannya seputar tindak kejahatan seksual yang dialami mereka. Wanita menjadi sasaran empuk tindak kejahatan bernama pelecehan seksual, meski sebenarnya lelakipun bisa menjadi korbannya. Tentu, tindakan pelecehan seksual meninggalkan bekas berupa trauma bagi korban yang mengalaminya. Beberapa kejadian bahkan berujung pada tindakan bunuh diri. Itu sangat miris sekaligus mengerikan.

Tak usah terlalu jauh. Teman saya bahkan pernah mengalaminya. Meskipun masih tergolong ringan jika dilihat dari tindakannya, namun menyisakan trauma bagi teman saya. Ketika itu dia pulang dari acara organisasi kampus. Entah mengapa yang biasanya teman saya “bonceng” malah memilih pulang sendirian. Saat diperjalanan, sekelompok laki-laki mulai bersiul padanya dan mengatakan kalimat yang tak enak didengar. “Mbak, jalan-jalan bareng saya yuk”. Sederhana memang hanya berupa kata-kata ajakan. Tapi karena perkataan itu teman saya mengurung diri di kosan dan tidak berangkat kuliah selama dua hari. Saat saya datang kekosannya dia menangis dan mulai bercerita ke saya tentang pengalamannya itu. Dia takut.  

Tak asing di kepala kita istilah pelecehan seksual. Namun apakah kita sudah memahami betul setiap hal yang bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual? Entahlah. Mungkin tak semua orang paham bahwa bersiul dan bermain mata  saat seorang perempuan lewat adalah bentuk pelecehan seksual, tepatnya pelecehan non-fisik.

Komnas perempuan pernah membuat sebuah ulasan yang memberikan informasi mengenai beberapa hal yang termasuk pada kategori pelecehan seksual diantaranya berupa perkosaan, siulan, bermain mata, berkata tak pantas secara langsung, menunjukkan gesture bernuansa seksual, berkomentar tak senonoh (berunsur seks) dimedia sosial, colekan dibagian tubuh tertentu yang disengaja, menunjukkan materi yang berbau pornografi, dan sebagainya yang menimbulkan rasa tak nyaman bahkan trauma psikologis bagi korbannya.

Trauma psikologis? Ya, itu merupakan salah satu akibat dari pelecehan seksual. Efeknya bisa bermacam-macam mulai dari teringan hingga terberat yang menyebabkan gila bahkan bunuh diri.
Sebuah denting jam berdetak seirama dengan denyut jantung seorang perempuan muda di sudut kamar itu. Mata perempuan itu suram. Wajahnya penuh rasa cemas, takut dan kesedihan tak tertahankan. Mulutnya mulai berteriak lirih, berharap ada malaikat baik disampingnya yang kemudian akan memeluk dan mengatakan “Kau kuat dan kau akan baik-baik saja, Nak”. Namun sayang, harapannya itu ternyata hanya sebentuk ilusi yang ia ciptakan untuk mencegah keinginan besarnya untuk mengakhiri hidup. Ia pun memilih untuk menyerah pada kematian. Bunuh diri.

Bunuh diri? Iya. Pernahkah kamu mendengar nama Laras Sukma Banowati ? Jika belum, dengarkan baik-baik. Dia adalah salah satu gadis remaja yang memutuskan untuk mengakhiri hidup lantaran depresi. Saya akan bercerita sedikit. Saat depresi, orang akan merasakan segala sesuatu disekitarnya menjadi sangat menakutkan dan mengerikan. Optimisme dalam diri menjadi sangat rendah dan muncul pikiran-pikiran bahwa mengakhiri hidup adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Lebih kurang, itu juga yang pernah saya alami ketika saya merasa depresi berat beberapa waktu yang lalu karena masalah keluarga.

Laras merupakan siswi SMP 2 Cimenyan kabupaten Bandung. Gadis itu merupakan korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh tetangganya. Menurut orang terdekat korban, Laras sempat menjalani aktivitas normal seperti sekolah dan berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Hanya saja setelah beberapa orang wartawan datang dan mewawancarainya, perilaku Laras mulai berubah. Ia cenderung lebih tertutup dan memilih untuk diam hingga pada 28 maret 2017, ia ditemukan meninggal dengan gantung diri di kamarnya. Ketakutan akan penilaian orang dan tersebarnya kasus yang menimpannya memungkinkan ia memilih nekat untuk mengakhiri hidup.

Keputusan Laras untuk mengakhiri hidup memang menyisakan duka dan tanda tanya besar bagi sebagian orang. Apa yang membuatnya nekat mengakhiri hidupnya? Alasan malu? Bisa jadi! Coba jika kamu menjadi Laras. Mungkin perasaanmu bercampur aduk. Ditambah wartawan yang mulai menanyai ini itu dan membuatnya semakin depresi. Rasa malu bertemu oranglain ditambah informasi tentang dirinya yang mungkin tersebar luas sebagai korban pelecehan seksual. Apa kata oranglain nanti tentang dirinya dan keluarganya?

Kasus lain yang senada dengan Laras ternyata juga bisa kita lihat di kehidupan selebritas luar negeri. Tahu Chester Bennington? Let me tell you about him.
Para youtuber dan pecinta musik rock pasti mengenalnya. Yups, dia adalah vokalis band rock tersohor  bernama Linkin Park. Dibalik kesuksesan dan hingar bingar hidupnya didunia musik, ternyata Chester menyimpan masa lalu yang cukup kelam. Chester muda pernah menjadi korban pelecehan seksual oleh para pria yang lebih dewasa darinya. Pengalamannya itu terus ia simpan hingga ia dewasa dan menjadi luka tersendiri yang tak bisa disembuhkan. Selain itu, Chester diketahui memiliki pengalaman buruk terhadap kehidupan keluarganya. Ayah dan ibunya telah bercerai. Chester adalah korban broken home.

For Your Information, melalui Chester kita juga tahu bahwa sebenarnya tindakan pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada wanita. Lelaki pun bisa menjadi korbannya. Namun, pada tulisan ini saya ingin mengupas lebih banyak pelecehan seksual yang dialami oleh para wanita.
Perempuan (terutama) acapkali menjadi korban keganasan para lelaki yang tak bertanggungjawab. Tindakan pelecehan seksual bisa terjadi dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun bahkan ditempat yang ramai sekalipun. Ruang publik yang seharusnya nyaman dan aman untuk melakukan aktivitas, nyatanya tidak aman-aman amat. Faktanya  beberapa kejadian pelecehan seksual bahkan terjadi di ruang publik. Di KRL atau bus kota misalnya. Beberapa wanita bahkan pernah menceritakan pengalaman pahitnya saat dilecehkan diruang publik.
Jika kamu menjadi Chrisna, maka kamu mungkin akan bingung harus berbuat apa. Mau mengatakan pada si korban, namun takut diancam pelaku karena pelaku mungkin bisa membalas perbuatanmu. Memang. Namun dengan diam. Justru perbuatan pelaku akan menjadi jadi.
Diammu membuat pelaku tak pernah jera. Diammu mungkin akan membuat orang lain dalam bahaya. Diammu bukanlah emas.
Keberanian dalam menyuarakan kebenaran memang perlu energi dan mental yang kuat. Sebagai manusia yang dikaruniai empati dan perasaan, kita harus dengan tegas melakukan tindakan nyata untuk membantu para korban sebelum atau sesudah terjadi tindakan pelecehan seksual. Dengan apa? Dengan memberi perlawanan bahkan berani bersuara dan melaporkan tindakan pelaku pelecehan seksual.
Menjadi korban pelecehan seksual bukan menjadi sesuatu yang diinginkan. Setiap orang menginginkan hidup nyaman dan aman tanpa gangguan. Namun jika terlanjur menjadi korban, peran keluarga, masyarakat dan media menjadi sesuatu yang sangat penting.

Keluarga adalah dasar dari seorang manusia berinterraksi. Oleh sebab itu, keluarga harus mampu memberikan dukungan penuh. Membantu menyembuhkan perlahan trauma yang mendera korban pelecehan. Bukan malah menyalahkan dan membuat korban justru semakin terpuruk. Melalui keluarga yang harmonis dan saling melindungi, diharapkan muncul sebuah rasa aman dan nyaman bagi korban.

Well, Seperti halnya keluarga, masyarakat juga punya pengaruh terhadap turun naiknya mental korban pelecehan lho. Biasanya, Korban pelecehan cenderung rapuh ketika bertemu dengan oranglain. Alasannya bisa jadi karena malu menjadi perbincangan. Apalagi jika dilihat dari budaya masyarakat Indonesia yang suka berkelompok. Kebiasaan membulli dan bergosip tak bisa dihindari. Jelas, menjadi bahan perbincangan negatif orang sekampung tak enak dan mengganggu, bukan?

Lalu, bagaimana dengan peran media? Baiklah. Mari kita berbincang. Tentu kita mengakui bahwa sekarang media menjadi sesuatu yang penting bagi tersalurnya beragam informasi. Nah, peran media terkait kasus pelecehan adalah berhubungan dengan pemberitaan yang positif bagi saksi dan para korban pelecehan. Diantaranya adalah dengan penyamaran identitas, foto, alamat, dan hal-hal lain yang bisa memojokkan saksi dan korban jika diungkap dalam pemberitaan. Seperti apapun, para saksi dan korban membutuhkan privasi.
Korban dan saksi sama-sama membutuhkan perlindungan. Misalnya saja kasus pada Chrisna. Chrisna mendapat perlakuan tak menyenangkan dari pelaku pelecehan seksual yang dilihatnya. Jika sebelumnya ia menjadi saksi karena telah melihat aksi pelaku terhadap wanita di kereta, beberapa hari kemudian ia menjadi korbannya. Alasannya jelas. Si pelaku melakukan aksi balas dendam terhadapnya karena Chrisna memergoki perbuatan si pelaku. Mungkin, karena takut aksi balasan itulah yang menyebabkan banyak saksi memilih bungkam daripada bersuara. Mereka takut menjadi target selanjutnya.

Berani menyuarakan kebenaran dengan melakukan pelaporan merupakan tindakan bernilai emas. Diam bukan pilihan jika kita menyaksikan saudara kita, tetangga kita, ibu, adik, kakak bahkan kawan-kawan kita terkena kasus pelecehan. Suara kita memberitahukan dunia bahwa masih ada rasa kepeduliaan antar sesama untuk saling melindungi dan membela.
Melapor ke LPSK. Yaps, LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan korban merupakan lembaga mandiri yang didirikan dan bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban tindakan kriminal. Well, ketika kita melapor ke LPSK, identitas kita sebagai pelapor (saksi) terjamin kerahasiaannya. Kita tak perlu khawatir jika informasi pribadi kita tersebar ke ranah publik.

Kasus pelecehan seksual diketahui tidak terusut secara tuntas karena minimnya pengaduan dari para saksi dan korban. Saat terjadi pelecehan, korban atau saksi tidak memperpanjang kasus dengan memilih diam. Hal tersebut dipilih, bisa jadi karena mereka takut diketahui identitasnya dan mungkin bisa terkena ancaman dari pihak-pihak tertentu. 

But, Bukan itu solusinya!! Adanya LPSK menunjukkan kepedulian negara dalam melindungi warga negaranya, melindungi saksi dan korban dalam kasus kriminal. Ingat kawan, dengan diam bisa jadi oranglain dalam bahaya, terkadang menyuarakan keberanian lebih bernilai emas. Tak perlu takut untuk lapor ke LPSK ketika menjadi korban atau saksi terhadap kasus yang terjadi.
Berbincang mengenai LPSK, LPSK telah bekerjasama dengan beberapa lembaga lain lho seperti mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Kementrian Hukum dan HAM, DPR RI, KPK dan Komnas HAM. Melalui kerjasama tersebut diharapkan mampu meningkatkan pelayanan dan menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat sehingga menciptakan kolaborasi yang kuat antar elemen. Berbagai elemen yang ada termasuk masyarakat sendiri dan media sebagai perantara informasi menjadi bagian penting.

Bahkan, dalam sebuah forum diskusi yang dilaksanakan di Pontianak,  Abdul Haris Semendawai selaku ketua LPSK dan rekan media membuat sebuah perjanjian dalam hal pemberitaan. Pada tahun 2014 sebuah kesepakatan berupa MOU telah disetujui antara LPSK dengan dewan pers. Tujuannya jelas? Menghindari terjadinya pemberitaan yang menjatuhkan, berlebihan dan merugikan para saksi dan korban. Upaya LPSK mendekati media disambut baik oleh pihak media yang hadir dalam diskusi ini. Upaya ini dapat membuka wawasan insan media, terutama di daerah untuk mengenal LPSK lebih dalam.

 "Adanya diskusi ini kami jadi tahu LPSK, layanan yang diberikan, hingga pentingnya melindungi korban melalui pemberitaan” ucap Ahmad Saroso  selaku penanggungjawab Redaksi Tribun Pontianak.

Sebagai bentuk pengenalan ke masyarakat mengenai perannya, LPSK telah melakukan sosialisasi ke beberapa  wilayah, termasuk kota Jambi. Sosialisasi itu berupa seminar yang dihadiri aparat penegak hukum di Provinsi Jambi serta para pemangku kepentingan lainnya. Sosialisasi ini menampilkan narasumber dari internal LPSK yaitu Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani, Staf Ahli Gubernur Jambi Tagor Nasution dan Kasubdit IV Reskrim Perlindungan Perempuan dan Anak Polda Jambi AKBP Heri Manurung.

Well, LPSK merupakan lembaga yang menjadi solusi bagi kita untuk melapor sebagai korban atau saksi tindak pelecehan seksual. Jika sudah ada solusi dihadapan kita. Mengapa tidak kita ambil?



Sumber referensi : 

https://www.lpsk.go.id/

http://www.hipwee.com/travel/kisah-pelecehan-yang-terjadi-di-bus-dan-krl-pelaku-menggesek-gesek-kemaluan-dan-meneror-perempuan/

https://www.komnasperempuan.go.id/

https://psikologiabnormal.wikispaces.com/Eksibisionis

https://www.instagram.com/infocegatan_jogja/?hl=id

8 komentar:

  1. Tepat sekali Mbak, untuk hal seurgent ini tidak berlaku pepatah "diam itu emas". Laporkan lebih baik!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yap, tepat sekali kakak. Kadang banyak sekali kejadian disekitar kita yang tak terlaporkan karena beberapa alasan. Salah satunya karena takut jadi milih diam. Padahal gak semua diam itu baik :D

      Hapus
  2. Kebanyakan para korban lebih memilih diam daripada bersuara. Aku suka artikel ini, setidaknya membuka mata bahwa korban layak dilindungi.

    Serem ya jangan sampai ada korban2 depresi yang lain yang berujung tindakan bunuh diri. Nice info :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak, kadang saya juga mikir kalau orang depresi bakaln bisa bertindak apa aja, termasuk bunuh diri. Kasus yang terjadi juga jarang yang terungkap karna banyak saksi milih diam..

      Hapus
  3. Artikelnya bagus, enak dibaca. Banyak pelajaran yang dapat diambil. Thanks artikelnya Bermanfaat banget buat aku

    BalasHapus
  4. Bener banget ini kak, apalagi buat para perempuan kudu bener" jaga diri dan harus membekali diri sebaik mungkin biar terhindar dari hal" plecehan macam apapun itu. Thanks ya kak tulisannya sudah mengingatkan kita semua khususnya para wanita agar lebih berhati-hati 😊😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kak, sama2. Setiap orang harusnya memang saling mengingatkan. Apalagi kita sebagai perempuan benar2 sangat penting untuk saling menjaga :)

      Hapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam