Laman

Selasa, 25 Oktober 2022

Penerapan Transisi Energi, Solusi Jitu Kurangi Selimut Polusi

Benarkah polusi udara di dunia kian memprihatinkan dan mengancam kehidupan?

Sebuah foto lawas memperlihatkan dua potongan gambar dalam dua waktu yang berbeda. Satu berada di tahun 1930 dan satunya di tahun 2020. Gambar di tahun 1930 menunjukkan becak dan orang-orang berjalan kaki di jalanan bertanah sedangkan gambar tahun 2020 menunjukkan jalanan beraspal dengan kendaraan bermotor yang melewatinya.

Perbedaan dua zaman, tahun 1930 dan tahun 2020
(Sumber : Akun instagram Foto2 lawas)

Dari foto tersebut, kita bisa melihat bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Perubahan zaman menjadi satu hal penting yang tak terelakkan. Seiring dengan zaman yang berubah, berbagai inovasi transportasi pun kian gencar. Dulu, kendaraan seperti sepeda, dokar dan becak memiliki fungsi penting untuk mobilitas. 

Sekarang, orang lebih banyak menggunakan kendaraan bermotor ketimbang dokar, sepeda maupun becak. Alasannya masuk akal sebenarnya. Kendaraan bermotor lebih cepat mengantarkan orang ke tempat tujuan dan bisa diandalkan di segala situasi. 

Meski manfaatnya begitu besar untuk mobilitas, namun penggunaan transportasi berbahan bakar fosil ternyata juga menyumbang sisi buruk bagi lingkungan. Kendaraan tersebut menyumbang polusi hasil pembakaran BBM di dalamnya. 

Melalui grafik yang dicuplik dari website databoks.katadata.co.id di atas bisa dilihat bahwa sektor energi menyumbang angka nomor wahid sebagai penyebab emisi. Tentu, sektor energi sangat berkaitan erat dengan transportasi, industri, kelistrikan dan segala aktivitas yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai penggeraknya. 

Beberapa waktu lalu, ketika pandemi datang dan aktivitas masyarakat berubah menjadi WFH, beberapa kota besar dinilai memiliki penurunan polusi karena tak banyak transportasi berbahan bakar energi fosil beroperasi. Selain itu, penurunan aktivitas industri juga terjadi secara masif.  

Beberapa warga net mengatakan bahwa selama pandemi, kota Jakarta memiliki langit biru cerah yang menandakan udara  bersih karena penurunan polusi. Padahal biasanya, langit Jakarta akan terlihat berwarna abu dan suram karena padatnya aktivitas di dalamnya.  

Nah, berkenaan dengan kondisi langit Jakarta sebelum WFH, saya juga pernah menemukannya dengan kondisi berwarna abu dan terlihat suram. Padahal waktu itu tidak mendung. Mungkinkah ini erat kaitannya dengan selimut polusi yang diakibatkan oleh aktivitas penggunaan energi berbahan bakar fosil? Bisa jadi.  

Bahaya Penggunaan Energi Fosil jika Berlebihan 

Bagi orang yang tak peduli dengan kondisi perubahan bumi saat ini, menebalnya selimut polusi bukan jadi hal yang perlu dikhawatirkan. Padahal, secara  tak langsung, polusi menimbulkan dampak lanjutan yang berimbas secara massal dan global. 

Menebalnya selimut polusi di udara turut serta menaikkan Gas Rumah Kaca (GRK) di udara. Kita tahu bahwa GRK merupakan penyebab terjadinya pemanasan global. Pemanasan global telah mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. 

Beberapa  tanda yang bisa dirasakan akibat pemanasan global yakni perubahan cuaca tak menentu dan terjadinya bencana-bencana geologis. Lalu, seperti apa dampak global warming bagi kehidupan? 

Pemanasan global memiliki dampak yang sangat mengerikan bagi kehidupan. Berikut ini beberapa hal yang perlu kita ketahui mengenainya,

1. Munculnya berbagai bencana

Bila kita amati, akhir-akhir ini kita sering mendengar berita mengenai bencana geologis seperti banjir, rob, tanah longsor, hingga badai siklon yang mengancam bukan hanya nyawa tetapi juga tempat tinggal.

2. Mencairnya Es di Kutub 

Meningkarnya suhu di permukaan bumi dan di dalam laut akan membuat es di kutub-kutub bumi mencair. Saat es di kutub mencair, maka volume air laut juga akan bertambah.

3. Gagal Panen 

Gagal panen menjadi masalah krusial yang terjadi akibat perubahan musim yang tidak menentu. Banyak petani di beberapa daerah mengalami gagal panen akibat kekeringan atau banjir yang berlebihan. Salah satu kasus gagal panen yang pernah saya baca adalah pada perikanan. Ikan Nila yang seharusnya bisa dipanen dalam beberapa minggu hilang karena tersapu banjir.

4. Kabut Asap 

Pemanasan global akan meningkatkan suhu di permukaan bumi, memicu terjadinya kekeringan dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan menimbulkan kabut asap yang sangat berbahaya bagi kesehatan pernafasan bahkan riskan menyebabkan kematian.

5. Kekeringan dan krisis Air Bersih 

Kekeringan menjadi problem nyata akibat perubahan iklim. Pemanasan global membuat udara menjadi lebih panas karena naiknya temperatur di atas normal. Adanya hal tersebut berisiko memunculkan kekeringan sehingga krisis air bersih tak terelakkan.

6. Naiknya Permukaan Air Laut 

Naiknya permukaan air laut disebabkan oleh mencairnya es di kutub-kutub bumi. Lama-kelamaan, hal ini akan menyebabkan banjir rob di wilayah pesisir seperti Jakarta, Demak, Pekalongan dan Semarang. Bahkan, naiknya permukaan air laut dapat membuat pulau-pulau kecil di Indonesia tenggelam. 

7. Rusaknya Terumbu Karang 

Pemanasan global akan membuat suhu dan keasaman air laut. Kedua hal ini akan membuat terumbu-terumbu karang mengalami pemutihan dan lama-kelamaan akan rusak, bahkan hilang. Rusaknya terumbu karang akan membuat ekosistem laut menjadi tidak seimbang serta flora dan fauna laut akan mati. 

8. Kelaparan

Bencana-bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim bisa merusak lingkungan. Tentu ini berdampak bagi pertanian yang nantinya bermuara pada pasokan bahan pangan yang bisa dihasilkan. Bila pasokan bahan makanan kurang, manusia akan mengalami krisis pangan di kemudian hari.

***

Itu dia beberapa dampak yang bisa ditimbulkan oleh kenaikan GRK apabila tidak dikendalikan. Di Kota Pekalongan tempat saya tinggal, dampak perubahan iklim sudah bisa kurasakan secara nyata. Misalnya cuaca yang begitu ekstrim (panas yang luar biasa, bisa hujan yang tak mengenal waktu) dan banjir rob karena kenaikan air laut dan penurunan muka tanah. 

Solusi untuk mengatasi kenaikan Selimut Polusi. Bagaimana? 

Pada tanggal 18 Oktober 2022 lalu, saya mengikuti sebuah gathering Eco Blogger Squad bertema “Transisi Energi dan Selimut Polusi”. Gathering tersebut membahas mengenai perubahan iklim, polusi udara hingga transisi energi sebagai solusi untuk menguranginya.

Apa itu transisi energi? Transisi energi merupakan cara menuju transformasi sektor energi global menjadi nol-karbon. Caranya dengan dengan beralih pada sumber-sumber energi selain fosil (minyak bumi, batubara dan gas alam) seperti angin, panas bumi, air hingga baterai.

Apabila transisi energi dari fosil ke non-fosil bisa diterapkan dengan baik, maka kenaikan Gas Rumah Kaca di udara bisa diminimalisir karena energi non-fosil merupakan bahan bakar yang tak mengasilkan emisi berbahaya layaknya energi fosil.

Nah, permasalahannya, penerapan transisi energi sendiri bukan hal yang mudah. Banyak sekali tantangan yang negeri ini miliki agar itu bisa teraplikasikan.

Bila melihat tantangan-tantangan di atas, transisi energi memang tidak bisa dilakukan secara instan. Butuh kolaborasi dari banyak pihak serta waktu yang lama untuk berproses. Namun demikian, bukan berarti Indonesia tak mampu melakukannya.

Menurut Mas Faris selaku narasumber dalam gathering, transisi energi sudah dilakukan di beberapa wilayah terpencil di Indonesia. Salah satunya penggunaan PLTB Tolo (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) di Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan.

PLTB Tolo memiliki kapasitas 72 MW yang mampu memasok kebutuhan listrik Sulawesi bagian selatan. Luar biasa bukan?


 

10 komentar:

  1. Yang sudah sering terasa dampaknya adalah bermacam-macam bencana mulai banjir, gempa, longsor dll. Terus juga musim yang tidak bisa diprediksi. Baru tahu kalau permukaan air laut naik itu juga salah satu dampaknya. Pantas ketika saya main ke pantai, terasa berbeda karena pantai semakin tergerus

    BalasHapus
  2. Semakin kedepan dunia memang akan merasakan dampaknya global warming. Tugas kita sebagai generasi muda untuk mencegah global warming dengan berbagai cara.

    BalasHapus
  3. Gerakan kayak gni emang harus masif dan berkelanjutan yaa mba, meskipun kecil insyaAllahkalau dikerjakan bareng2 dan terus menerus akan ada efek baik untuk perubahan iklim di bumi kita

    BalasHapus
  4. Pasti akan ada tantangan buat melakukan suatu perubahan. Namun bukan berarti gak bisa ya, karena perubahan untuk membuat bumi kita tetap nyaman memang harus dilakukan

    BalasHapus
  5. Ga sabar juga nih aku menanti transisi energi, bisa pake tenaga surya gitu ya. Seharusnya bisa lebih hemat dan ramah lingkungan

    BalasHapus
  6. perubahan iklim semakin merajarela luar biasa sekali dampaknya bagi kehidupan semua makhluk di dunia

    BalasHapus
  7. bener sih memang harus mulai transisi energi ya :) semoga bisa berdampak lebih baik buat bumi, jadi lebih hemat tentunya

    BalasHapus
  8. Iya ih kalau ngomongin polusi ini jadi inget masa 2020 di mana langit Jakarta terlihat cerah biru, berarti kan memang asap polusi dari kendaraan ini pengaruh banget. Nah tp solusinya benar2 kdu dimulai dari sekarang soalnya waktunya nggak instan jg, banyak hal yang harus dibenahi. Semoga Indonesia lekas bs transisi energi ini perlahan lahan

    BalasHapus
  9. setuju banget kak dengan gerakan transisi energi, perlu sosialisasi lebih gencar dengan sedikit demi sedikit dipraktekkan biar masyarakat ga kaget

    BalasHapus
  10. duh memang kalau alam sudah rusak itu pasti bencana dimana mana, dan bencana itu juga bisa mengundang penyakit seperti yang terjadi sekarang ya mba..kita memang harus memikirkan nasib bumi ini ke depannya

    BalasHapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam