Laman

Senin, 31 Desember 2018

Merapah Jejak Kemuning, Surga Tersembunyi Di Tengah Alas Jati Wanagama

Saya masih tertidur pulas ketika alarm berbunyi pukul 03.00 WIB. Biasanya, saya akan bangun sekitar pukul 9.00 WIB. Namun hari itu ada yang berbeda. Saya harus bangun pagi karena acara liputan blogger ke daerah Kemuning, Gunung Kidul. Lebih tepatnya ke sebuah kampung besutan Astra yang dikenal dengan kampung Berseri Astra (KBA).

Kata orang, KBA Kemuning merupakan salah satu surga tersembunyi di wilayah Pathuk, Gunung Kidul. Tersembunyi? Secara sepintas saya membayangkan salah satu tempat fiktif di animasi Jepang karya Masashi Kisimoto, Naruto Shippuden. Sebuah desa bernama daun tersembunyi atau dikenal sebagai Konohagakure muncul dalam bayangan di pikiran.

Jika mengenal karya animasi itu, mungkin tak akan merasa asing dengan nama desa Konoha. Ya, desa Konoha adalah potret keindahan sebuah tempat yang tersembuyi di antara pekatnya rimba. Nah, berkenaan dengan Kemuning, apakah ia juga hampir senada dengan desa imajinasi ini, tersembunyi namun menampakkan hamparan indah layaknya surga. Baiklah, mari menjejak langkah dan berkisah mengenai KBA Kemuning. Desa Konoha di dunia nyata.

Saya dan rombongan berangkat menuju Kemuning pukul 6.45 WIB. Sepanjang perjalanan, sekelumit imaji mengenai wujud Kemuning sempat menyeruak di dalam benak. Benang-benang merah yang ada di otak saya seakan berusaha menghubungkan gambarannya dari satu titik ke titik yang lain. Apakah Kampung ini layak disebut sebagai surga tersembunyi? Seindah apakah ia? Ya, pertanyaan itu terus berkecamuk hingga mobil yang saya dan rombongan tumpangi berhenti sejenak.

“Kampung kemuning sudah terlewat kayaknya Pak!” Seru driver mobil lain pada driver mobil kami.

“Jauh gak Pak kelewatnya?”


“Lumayan Pak, mari putar balik!”


Ternyata kampung Kemuning sudah terlewat sekitar 2 kilometer. Saya saja yang sejak tadi melihat ke jendela mobil, tak menemukan sebuah tanda mengenai keberadaannya. Saya sempat mengawang, sebuah gapura yang cukup tinggi akan melambai kepada kami, seolah mengucapkan selamat datang. Namun kenyataannya berbeda, kami hanya melihat sebuah plang kecil bertuliskan Kemuning di antara tanaman tebu yang melambai. Ya, itu merupakan satu-satunya penanda arah menuju ke desa tersebut.

Setelah melewati plang biru itu, kami menuju jalan beraspal yang di setiap sisinya terdapat rumah penduduk. Apakah sudah sampai ke Kemuning? Sayangnya belum. Kami masih harus bergerak sekitar 3 kilometer lagi untuk memasuki kampung berseri tersebut.
Berbeda dengan jalanan awal yang beraspal, setelah melewati portal penanda KBA Kemuning, kami kemudian melalui jalan setapak yang di cor menggunakan semen. Jika tak hati-hati, mungkin mobil yang kami tumpangi bisa tergelincir karena licin. Jalan tersebut hanya bisa dilewati oleh satu mobil saja. Apabila ada mobil lain dari arah berlawanan, salah satunya harus mengalah untuk mundur. Tentu saja, diperlukan skill mengemudi yang lihai jika itu terjadi.

Pepohonan jati terlihat rimbun dengan nuansanya yang khas. Saat itu mata saya masih setengah terbuka akibat mengantuk, namun pikiran ini masih saja liar, membayangkan keindahan desa Kemuning yang dikenal karena ekowisata Telaga Kemuningnya itu.

Tanpa terasa perjalanan kami sudah setengah jarak menuju ke kampung. Tak seperti pemandangan sebelumnya yang terhampar pepohonan jati. Selanjutnya, saya dan lainnya disuguhi pemandangan kebun Kayu putih. Ya, terlihat sepanjang jalan setapak itu, pepohonan kayu putih melambai-lambai, bergoyang tertiup angin. Jika hari itu hujan, mungkin akan menambah rasa syahdu di dalam hati.

Melihat ke arah jendela, sesekali kutemukan tiang di setiap titik dengan bohlam kecil tergantung padanya. Ya, penerangan menuju desa masih sangat minim. Jarak antar tiang lampu pun masih cukup jauh. Kembali menyeruak pertanyaan dibenak saya, bagaimana suasana malam hari di kampung ini? Ah entahlah. Sepertinya pukul 5 sore pun, kelelawar sudah berani menampakkan diri dan berdendang dengan pekatnya senja.

Saya dan rombongan tiba di Kemuning sekitar pukul delapan pagi. Untuk memasuki kawasan kampung, kami harus berjalan kaki sekira 200 meter dan berhenti pada satu titik penyambutan. Dalam penyambutan tersebut, ada prosesi sederhana sebagai ucapan selamat datang. Kami semua dipasangi jarik batik dan sebuah irisan bangle di baju sebagai simbol penolak bala. Terasa sederhana memang, namun begitu mengena.

Tak hanya selesai di situ, sebagai simbol penyucian, kami harus melalui prosesi berikutnya yakni doa. Seorang ibu berkebaya biru datang menghampiri kami. Dengan ramah, beliau merapal mantra-mantra doa seraya mencipratkan air seduhan daun Kemuning dari dalam kendi. Sebuah tradisi penuh kebersamaan dan kehangatan. Itu adalah bentuk cenderamata dari masyarakat Kemuning untuk kami semua.

KBA Kemuning memiliki ikon berupa telaga yang terletak di antara rumah penduduk dan hutan Jati Wanagama. Telaga itu cukup istimewa mengingat lokasi berada di hamparan tanah yang tandus. Bagi masyarakat, Telaga Kemuning menjadi sebuah kebanggaan tersendiri karena fungsinya yang begitu vital dengan cerita sejarah yang unik. Konon katanya, telaga ini muncul secara ajaib, sebagai mata air alami ketika kekeringan melanda kampung Kemuning.

Masih menjadi surga tersembunyi? Ya, saya setuju dengan julukan itu. Melihat lokasinya yang diselimuti bukit, ladang Kayu putih dan hutan jati, tempat ini memang seolah tengah bersembunyi dari dunia luar. Namun, terlepas dari julukannya tersebut, saya merasa bahwa persembunyian inilah yang harus dibuka melalui promosi lebih baik dari masyarakat Kemuning.
Dokpri : Perkampungan Kemuning dan akses jalan yang dimiliki
Sebelumnya, saya pernah berencana untuk berkunjung ke KBA Kemuning bersama rekan kuliah. Ketika saya tanya mengenai lokasi, banyak dari kawan saya yang berasal dari Gunung Kidul belum mengetahuinya. Melalui media sosial pun, saya hanya bisa menemukan sedikit ulasan mengenainya yakni via instagram. Itu artinya apa? Surga itu ternyata masih menjadi misteri bagi sebagian orang. Pancaran sinarnya belum menjadi sumbu perindu bagi masyarakat di lokasi yang lain.

Jika demikian, maka saatnya Kemuning menunjukkan taring pesonanya melalui promosi ekowisata dan gebrakan program yang dimiliki. Supaya ia menjadi surga yang dirindukan, surga yang dicari oleh semua orang melalui layar kaca digital.


Hari itu, kami melakukan tur singkat mengelilingi kampung. Namun, sebelum melakukan tur, Bapak Suhardi selaku Kepala Dusun memberi sedikit kisah mengenai asal muasal nama Kemuning. Sebuah kolase kisah perjalanan muncul di dalam benak saya berdasarkan penuturan beliau.

***

Seorang lelaki setengah baya berlari terengah tanpa menoleh sedikit pun. Dengan perasaan acak dan setengah nekat ia membiarkan kakinya menjejak masuk ke  dalam sebuah hutan yang asing. Tanpa rasa takut, ia terus berlari berlari dan berlari. Ya, rasa takutnya sudah luntur semenjak tentara Belanda yang mengejarnya meletuskan sebuah senapan ditangan. 

Entah mati atau hidup adalah pemikiran nanti. Yang pasti selama jantung di dalam dadanya masih berdenyut, selama darah dalam tubuhnya belum mengucur, ia terus berusaha menghindar dari kejaran para prajurit bermata biru di belakangnya.


Tak terasa sampailah ia pada sebuah titik paling pekat di dalam hutan. Setelah memastikan tak ada seorang pun yang mengejarnya, ia mulai mengendurkan syaraf-syaraf di badannya dengan beristirahat sejenak. Di saat itulah ia kemudian mendapat sebuah wangsit untuk bertapa, merapalkan mantra-mantra kepada Sang Penguasa semesta.


Ditengah khusyuknya ia merapalkan mantra, ia kemudian mendapatkan sebuah ilham untuk menjadi penjaga hutan tersebut. Ya, tubuhnya mengalami perubahan yang ajaib. Saat siang ia menjadi manusia biasa. Lalu saat malam datang, ia akan berubah menjadi seekor Harimau perkasa. Sang penjaga alas.

Tak berapa lama, Sang manusia harimau yang biasa dipanggil mbah Sarijan ini pergi dari alas yang ia jaga. Ia kembali ke kerajaan Mataram, mengajak seluruh keluarga dan pengikutnya untuk hidup di kampung yang ia dirikan. Semua orang kepercayaan mbah Sarijan setuju, mereka memutuskan untuk tinggal di kampung tengah alas itu.

Setelah melewati bertahun waktu hidup dikampung tersebut, Sang manusia harimau akhirnya mangkat. Ia kemudian dimakamkan di tengah rimba oleh masyarakat. Dan ajaib, beberapa hari setelah itu, muncullah sebuah pohon beraroma harum dengan bunga berwarna putih. Ya, pohon itu adalah Kemuning yang kemudian juga menjadi nama perkampungan tersebut.

***

Nama Kemuning sendiri memiliki arti kesucian dan kejernihan dalam berpikir. Pohon tersebut menjadi sebuah lambang tersendiri sebagai bagian dari terbangunnya surga ditengah rimba ini. Ia juga menjadi bagian dari titik nadir kehidupan masyarakat Mataram yang berpindah untuk memulai kehidupan baru. Berinteraksi dengan alam, membabat hutan rimba.

Mungkin sekarang mbah Sarijan bisa tersenyum. Dua ratus tahun lebih semenjak ia mangkat. Kampung yang ia bangun itu telah bersinergi dengan dunia luar. Membentuk sebuah era baru yang mengharuskan masyarakat untuk lebih maju. Ya era kerajaan yang telah berevolusi menjadi era digital. Era dimana Kemuning menjadi salah satu kampung istimewa, Kampung berseri di tengah rimba. Kampung Berseri Astra.

Di Kemuning, ada beberapa tempat yang dibangun dan menjadi saksi bisu keberadaan Astra sebagai pelopor kampung berseri ini. Seperti balai desa, TK Masyitoh, pendopo serbaguna dan plang bertuliskan Satu Indonesia misalnya. Plang itu menjadi lokasi yang instagramable bagi wisatawan yang datang. Saya pun cukup menyukainya dan tak ketinggalan untuk berpose di dekatnya.
Pendopo Serbaguna
Dokpri : Sarana Pendidikan TK (Pilar Pendidikan)
Dokpri : Balai Desa untuk kegiatan warga dan Posyandu (Pilar Kesehatan)
Dokpri : Pengolahan sampah warga dan Penghijauan (Pilar Lingkungan)
Tak hanya berbicara tempat saja, beberapa program juga didanai dan dibuat agar masyarakat kampung menjadi lebih produktif. Program-program tersebut disesuaikan dengan 4 pilar Astra yakni kesehatan, kewirausahaan, pendidikan dan lingkungan. Nah, dari berbagai program yang dilaksanakan oleh masyarakat Kemuning, ada 2 program yang menurut saya unik yakni UKM Makanan dan UMKM Makanan.

Sebagian besar wilayah di Gunung Kidul dikenal sebagai kawasan tandus karena berada di perbukitan kapur. Tak terkecuali kampung Kemuning. Dengan kondisi sedemikian, wilayah ini hanya bisa ditanami tumbuh-tumbuhan ladang seperti singkong, ketela, pisang uter, bambu, jagung, atau jati.

Tentu, adanya potensi tanaman tersebut membuat masyarakat Kemuning tak kehilangan akal untuk mengolahnya. Sebagai program kewirausahaan masyarakat, beberapa kuliner khas dibuat dengan bahan-bahan alam asli Kemuning seperti Banana Roll, Jenang Pisang Uter, Lempeng Singkong, Kripik Talas, Gaplek Geprek, Wedang Secang. Harga tiap produk juga bervariasi, Rp 8000 hingga Rp 15.000.

Dokpri : Secang mentah dan yang sudah dibuat wedang
Dalam mengelola UKM kuliner, masyarakat Kemuning masih mengandalkan peralatan seadanya. Hal itu membuat produk yang dihasilkan memiliki keterbatasan dalam kuantitas. Mereka hanya akan membuat pada waktu tertentu seperti  ketika pameran produk atau kedatangan tamu dari luar daerah. Diperlukan peralatan yang memadai agar produksi kuliner ini bisa lebih banyak.
Dokpri : Proses Produksi Banana Roll dan Lempeng Singkong
Seperti membuat Banana Roll atau Lempeng Singkong misalnya. Tiap Banana Roll, dibuat menggunakan satu cetakan waffle dimana jumlahnya sangat terbatas. Itu membuat waktu produksi menjadi lama. Demikian pula dengan pengolahan Lempeng Singkong. Belum ada cetakan khusus untuk mempercepat proses membentuk singkong menjadi bulat gepeng.

Alas untuk mengeringkan Lempeng juga masih menggunakan plastik dan tutup panci. Sungguh, dibutuhkan kesabaran lebih untuk membuatnya. Seandainya ada peralatan yang lebih baik, saya yakin produksi kuliner ini akan meningkat kuantitasnya.

Masih adakah usaha kuliner masyarakat yang lain? Ya. Dengan kondisi alam yang tandus, beras bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan di wilayah Kemuning. Hal itu membuat masyarakat mencari alternatif makanan pengganti beras. Nasi tiwul yang dipadukan dengan ingkung. Keduanya juga merupakan produk UKM makanan masyarakat Kemuning.
Dokpri : Nasi tumpeng, nasi tiwul dan ingkung ayam kampung
Piring makan untuk menyajikan ingkung dan nasi tiwul ini cukup unik. Daun jati dipilih sebagai alas dan berkolaborasi apik dengan piring rotan. Sebuah sensasi menikmati kuliner yang tak biasa. Saya pernah merasakan sensasi itu 20 tahun lalu. Saat itu simbah putri menyuapi saya nasi campur yang dibungkus daun jati. Momen sederhana yang begitu terngiang.
Sepenggal perjalanan saya menjelajah Kemuning berakhir di pertengahan hari. Bersamaan dengan itu, rasa penasaran yang berkecamuk mengenainya perlahan luntur. Ada perasaan baru yang terbentuk dalam kalbu, sebuah rasa bahagia atas keramahan dan kebersamaan yang diberikan.

Mobil-mobil telah dihidupkan mesinnya, para supir pun telah berada pada tempatnya semula. Memainkan stang bulat di depannya. Suara klakson terdengar beberapa kali seolah memanggil kami agar masuk ke mobil. Saya dan rombongan kemudian menyalami warga satu persatu.

"Semoga kampung Kemuning ini semakin maju, tak hanya untuk wisatawan domestik, tapi juga para bule dari luar negeri" ucapku pada pak Suhardi seraya berpamitan.

"Amiin, terima kasih mbak" jawab beliau sambil melesungkan senyum.

***
Dokpri : Sayonara Kemuning, Surga Tersembunyi di Gunung Kidul
Mobil semakin beranjak menjauhi kampung. Pepohonan kayu putih di sisi jalan masih terlihat berdendang dengan desiran angin. Langit juga begitu biru dengan kapas-kapas putih yang melayang. Saya sudah cukup merasa lelah hari itu. Dengan sedikit bersandar di kursi, saya menatap keluar jendela. Mengimajinasikan kembali Kemuning sebagai Konoha di dunia nyata. Ya, sampai bertemu lagi Kemuning, surga di tengah alas jati Wanagama.
Dokpri : Ladang Kayu Putih Sepanjang jalan Pulang
Demi kemajuan 77 Kampung berseri, sudah saatnya semua sinergi disatukan. Bukan hanya tugas Astra atau masyarakat kampung berseri saja, tapi juga setiap orang. Kita ikut memperkenalkan potensi tersembunyinya. Kita ikut berkisah mengenai keberadaannya. Ya, sebab kemajuan setiap KBA juga ditentukan oleh peran kita, satu Indonesia. Tabik.

Disclaimer : Tulisan ini diikutsertakan dalam Anugerah Pewarta Astra 2018


Sumber informasi : 
  • Wawancara dengan Bapak Suhardi selaku tokoh desa mengenai asal muasal Kemuning.
  • Sebagian besar foto merupakan dokumen pribadi.
  • www.karangmojo.desa.id/first/artikel/685-Mataram-Islam-Berawal-Dari-Gunungkidul
  • Gambar desa Konoha yang diambil melalui google
  • https://tirto.id/belanda-membelah-jawa-dengan-perjanjian-giyanti-cEpq
  • http://www.pastvnews.com/aneka-warta/inilah-sejarah-gunungkidul-dan-bupati-pertamanya-di-angkat-raja-mataram.html
  • www.tanobat.com/kemuning-ciri-ciri-tanaman-serta-khasiat-dan-manfaatnya.html
  • https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/assets/Daftar-77-KBA-20181102.pdf
  • https://www.astra.co.id/CSR/Overview
  • https://id.scribd.com/doc/138347920/Deskripsi-Wilayah-Kabupaten-Gunungkidul

38 komentar:

  1. Mantap mbak, secangnya bikin pengen. apalagi diminum ketika hujan. menghangatkan badan. btw good luck mbak, semoga menang.... Semangaaaaat!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, enak banget wedang Secangnya. Terima kasih doanya. Aaminn :)

      Hapus
  2. Ayok dolan neh ke rumah bapaknya hahaha nanti qt makan genduren lagi jiaahhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terlalu kenyang aku memikirkan makanan yang kemaren mas hahaha

      Hapus
  3. Ingat wedang uwuh ya salah satunya ada daun secangnya ya yang bikin hangat badan apalagi diminum pas cuaca kayak gini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setahu saya sih yang bener bukan daun Secang mbak, tapi batang Secang :D
      Iya enak, tapi kayaknya ada bedanya ini sama wedang uwuh.

      Hapus
  4. Membaca ini saya serasa ikut menyaksikan masyarakat desa kemuning bersama-sama menghidupkan roda ekonomi daerah ya.. terlihat sangat jelas, semoga sangat tertata dengan baik, sudah berjalan dan masyarakatnya juga sangat senang. Saya jadi ingin kesana juga deh melihat langsung apa yang mereka lakukan sehingga desa mereka begitu makmur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kemuning sedang berusaha bangkit mbak, berusaha dikenal masyarakat tempat lain. Ya Alhamdulillahnya Astra juga turut membantu :)

      Hapus
  5. Mantaps ya...pemandangan hijo royo2nya jg luar biasa indah. Ingat secang ingat masa kecil sering banget minum ini campur gula jd kyk sirop merah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sirop tradisonal ya mbak, pakainya cuma kayu aja direbus hehe

      Hapus
  6. Desanyaaa keren.masyarakatnya juga pada aktif ya memajukan kearifan lokal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, tradisinya masih kental banget di Kemuning.

      Hapus
  7. Duh, asri dan adem banget tempatnya. Ini kayak di tempat nenekku waktu duluuuu banget. Zaman aku SD. 20 tahunan yang lalu. Sekarang udah banyak rumah. Sawah dan kebun2 hijau hilang. Keren ya Kemuning. Masyarakatnya juga kreatif banget. Saluuuut. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak. Semenjak dulu memang masyarakat Kemuning sedang berusaha untuk mandiri dan berkembang. Apalagi setelah Astra masuk ke kampung ini.

      Hapus
  8. Kemuning, beberapa kali temanku menyebutnya sebagai kesejukan tersembunyi. Rasanya cocok juga disebut sebagai surya yang tersembunyi di balik daerah Gunung Kidul yang katanya cadas dan panas. Apalagi dengan semangat kampungnya untuk terus berbenah, rasanya tak butuh lama bagi Kemuning untuk menjadi salah satu primadona di Jogja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget mbak, sekarang daerah Gunung Kidul telah mulai memunculkan sisi pariwisatanya, termasuk ya Kemuning ini :D

      Hapus
  9. Seru bangat Mba jalan-jalan ke Kemuning, itu dikenakan kain batik untuk menyambut, special bangat ya kesannya. Dan ternyata kemuning itu artinya kesucian dan kejernihan dalam berpikir, nama yang bagus ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bang, aku saja baru tahu saat wawancara dengan kepala dukuhnya. Diceritakan mengenai asal usul kemuning ini

      Hapus
  10. Selamat 9 tahun tinggal Di Gunungkidul baru tahu keberadaan desa Kemuning :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beneran mba? Ya temanku juga waktu tak tanya begitu mbak. Makanya butuh banget usaha untuk mengenalkannya :)

      Hapus
  11. Belum pernah saya ke Gunung Kidul, hehe. Main saya kurangjauh kayaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Main mbak ke Jogja, ntar kita ke Kemuning Gunung Kidul heheh

      Hapus
  12. Mantap banget ya Astra Support buat KBA kemuning. Bener banget Kemuning merupakan desa yang tersembunyi... kudu diviralkan nih biar semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke sana. Banyak kearifan lokal di dalamnya plus pemandangannya indah...Kemenpar kudu ke sih nih seharus. Moga dibaca kemenpar kita tulisan di blog ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget mbak, sangat penting untuk mengenalkan KBA Kemuning ini ke dunia luar. Biar semakin banyak wisatawan yang datang kesana :D

      Hapus
  13. lengkap banget ya... desa yang bertransformasi menggerakkan dan memberdayakan masyarakat sehingga perekonomiannya maju. sungguh Astra memberikan perubahan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kemuning lagi berusaha memberikan yang terbaik untuk kemajuan kampungnya dan alhamdulillahnya ada Astra :D

      Hapus
  14. Suasana kampung kemuning bener2 asri. Saya pernah denger tuh kata telaga kemuning. Apa mungkin ini tempat yg sama ? Salah satu csr yang berdaya guna

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin saja mbak, kalau tempatnya di Jogja kayaknya sih iya hehe

      Hapus
  15. Baca tulisan ini serasa berada di Kampung Kemuning, Mbak. Hehehe. Semoga bisa dikenal oleh lebih banyak wisatawan, ya. Dan tetap bersih serta asri meski nanti banyak pengunjungnya. Dan tradisinya tetap terus berlanjut, terutama cerita tentang manusia harimaunya mudah-mudahan bisa terus diceritakan kepada pengunjung agar tetap melegenda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, karena itu menjadi mitos tersendiri bagi masyarakat mengenai asal usul kampung Kemuning :D

      Hapus
  16. Wah itu di balainya ramai banget ya mbak. Btw aku baru tahu nih secang. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya orang Jogja tahu lho kalau Secang. Itu kan bahan wedang2an khas Jogja. Njenengan orang Jogja?

      Hapus
  17. Ternyata keberangkatan kesana dengan Joe itu untuk yang kedua atau yg kesekian kali ya? :D

    Btw, bukti nyata kontribusi Astra itu emang kerasa banget ya. Senang rasanya melihat kampung2 di Indonesia menjadi lebih berseri. Semoga semangat Astra yang menginspirasi selalu jadi motivasi untuk semua pihak yang ingin mengubah citra kampung Indonesia menjadi lebih baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kedua kali bang, sebelumnya pernah liputan kesana bareng2.
      Iya, kontribusi Astra emang keren banget. Luar biasa

      Hapus
  18. wkwkwk tahu konoha juga bu, desa tersembunyi yah, pemandangannya bagus juga yah, cocok memang dijadikan konten, mantul

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tahu donk, saya hanya membayangkan itu ketika melihat keindahan Kemuning. Rasanya hampir sama dengan Konohagakure milik Naruto haha

      Hapus
  19. Hemm...saya jadi berangan-angan membangun desa yang indah di tengah hutan rimba...hahahaha luar biasa memang, jika alam kita rawat dan kelola dengan apik. Akan memberikan berjuta manfaat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget bang, membuat desa ditengah hutan rimba tentu membutuhkan usaha yang super duper hebat :D

      Hapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam